4.12.07

MEGAT - MANDAT - MADAT


“ Sepercik air berwarna bening,
Nyanyian dewa dalam dentingan harpa
Dan kau raih secercah kemilau
Seakan ingin membunuh sang malam…”
1)


MENURUT E.L. Abel dalam buku Marihuana: The First Twelve Thousand Years, terbitan 1980 – narkotika ternyata sudah dikenal semenjak 10 ribu tahun lampau. Pendapat tersebut diperkuat oleh temuan fosil kebun-kebun mariyuana di pedesaan Cina oleh para arkeolog di tahun 1976. Dan selama berabad-abad para ilmuwan, apoteker, dokter, tabib maupun penggiat laboratorium terus menerus mencoba dan menemukan berbagai produk psikoaktif yang berbasis koka, opium, mariyuana, psilocybin, amanita muscaria, kaktus peyote, quat, kopi dan teh.

Meski awalnya narkotika bukanlah suatu fenomena uniter, penggunaannya berlatar berbagai keperluan dan alasan. Yang meluas dan akhirnya menjadi ancaman adalah penyalahgunaan zat psikoaktif tersebut. Efeknya terhadap sistem syaraf pusat (CNS, central nervous system) – otak dan spinal, sebagai stimulan (kokain, amfitamin dan kafein) atau sebagai depresan (opium, morfin, heroin, metadon, valium dan alkohol) yang bersifat aditif, telah menjadikannya sebagai obat dewa yang begitu menggejala.

Semenjak Alexander The Great berkuasa pada 330 SM, Persia telah melakukan ekspor madat ke Inggris yang ketika itu di bawah Queen Elizabeth I. Baru pada 1878, Kerajaan Inggris menerbitkan regulasi untuk meredam maraknya pemakaian madat. Regulasi yang sama baru diundangkan pada 1906 di Amerika Serikat.

Dengan madat pula Inggris berhasil menguasai Cina. Bermula dari Kanton, melalui perniagaan, madat ditebar dan akhirnya merasuki kehidupan setiap orang di segala pelosok. Rumah Bunga, istilah untuk pusat penjualan dan pemakaian candu, bermunculan dan marak dikunjungi. Masyarakat menjadi tidak peduli terhadap apapun selain ‘mimpi-mimpi indah’ mereka. Cina lumpuh tapi juga butuh. Sebagian besar rakyat dan pejabat kerajaan sudah ketagihan candu, sehingga mereka dengan pasrah menyerahkan apa saja yang ditunjuk dan diingini orang-orang Inggris, asal mereka bisa terbebas dari ‘sakaw’.

Beruntunglah Cina masih memiliki para Boxers. Para pendekar dari dunia kang-ouw berbagai aliran bersekutu untuk menyelamatkan bangsa dan tanah tumpah darah. Mulanya mereka melancarkan gerilya, karena sebagian besar aparat kerajaan (semenjak Dinasti Ming hingga Dinasti Ching) bahkan keluarga kerajaan dan para penegak hukum, justru adalah pecandu bahkan pemasok (istilah sekarang ‘bd’). Baru saat Kaisar Yun Chen naik tahta, para ksatria delapan penjuru beroleh restu melancarkan perang terbuka. Maka sejarah mencatat merebaknya Perang Candu pada 1839-1842.

Meski kalah hingga harus menyerahkan Hongkong, perang tersebut telah menyadarkan rakyat Cina terhadap bahaya psikoaktif yang telah meracuni dan melenakan bangsa itu.


>>>^<<<


Di Nusantara, seiring terjadinya interaksi dengan ‘dunia luar’ melalui perniagaan, menyelusup pula madat. Para saudagar yang membuka pasar di Andalas (kini Sumatera), menyertakan pula daun surga itu yang didapati saat lewat jalur perniagaan di dekat segitiga emas Indocina (Siam, Laos dan Kamboja).

Dadah, demikian para Megat – raja dari kerajaan-kerajaan kecil di tanah Melayu – menyebutnya, menjadi akrab dan kebutuhan yang prioritas. Jika para Megat sudah kena, maka lazimnya rakyat pun akan dengan sertamerta mengikutinya.

Nyaris serupa dengan situasi rejim mafia baik di Eropa maupun Amerika, di Nusantara para pembuka dimensi narkotika juga dari kalangan the have. Pada mulanya lingkungan pemakainya memang terbatas dan eksklusif. Jika narkotika menjangkau kalangan bawah, itu pun dapat dipastikan dibawa oleh para majikan yang jatuh bangkrut, atau melalui para hamba dan centeng bos-bos itu.

Nusantara yang bersalin rupa menjadi Republik Indonesia, seiring dengan madat dan atau candu dan atau dadah yang menjadi cantik dengan identitas baru sebagai Narkoba, alias NAPZA alias Mirasantika (menurut Rhoma Irama) menjadi layaknya sepasang mempelai yang tak kunjung usai berbulan madu. Sekalipun penyuluhan, penyadaran, kerja sosial baik oleh sekalangan kecil aparatur pemerintah (dengan digit besar di apbd/apbn) atau lembaga yang ujug-ujug marak bermunculan, toh tidak membuat produksi, distribusi dan konsumsi psikoaktif ciut nyali.

Bahkan tokoh sekaliber Henry Yosodiningrat yang nyaris melakukan aksi 'street justice', pernah hanya menjadi cemoohan dan tertawaan belaka. Narkoba merambah bagai tak terhalang waktu dan ruang, bagai tak mengenal strata dan usia, bahkan tak lagi peduli gender, pangkat, dan status ekonomi. Yang gede makai yang mahal, semisal putaw (pt), shabu-shabu, ineks maupun black-heart. Yang kere ya ngegelek alias nyimeng, ngeboat bk-magadon-leksotan, atau bahkan ngelem. Sama telernya, sama bermimpinya. Yang kecil bermimpi menjadi pejabat. Yang pejabat bahkan para pemegang mandat, bermimpi seolah mereka adalah malaikat.

Beberapa waktu belakangan ini, terbongkar pabrik shabu di Batam dan Jakarta, terungkap penyelundupan ekstasi di Apartemen Taman Anggrek dan terbongkar jaringan pengedar psikotropika di Surabaya dan Jakarta, yang masing-masing dengan barang bukti yang jika dirupiahkan mencapai miliaran. Beberapa kasus ungkapan tadi bahkan melibatkan publik figur dan pejabat negara.


Mencengangkan, memang. Konon, menurut perhitungan seorang rekan penggiat BNK (Badan Narkotika Kabupaten) Tangerang, saat ini korban peredaran narkoba sudah mencapai lebih dari 6 juta jiwa. Jika rata-rata mereka sehari menghabiskan 1 gram saja, dan rata-rata satu gram seharga 100 ribu rupiah, maka omzet sehari dari transaksi mereka adalah senilai 600 miliar rupiah (!). Padahal angka 6 juta pemakai adalah fenomena gunung es, yang angka sesungguhnya bisa jadi jauh lebih besar lagi. Sedangkan, masih menurut sumber yang sama, harga sebutir ineks (= ekstasi) bisa mencapai 150 ribu, shabu-shabu bahkan sejuta pergram, dan putaw lebih dari itu.

Kalaupun angka 600 miliar dianggap mendekati, maka itu juga berarti sekitar 220 triliun setahun, bandingkan dengan APBD Kabupaten Tangerang 1,8 triliun rupiah. Ajaib memang. Tapi begitulah mimpi berkuasa. Angka itu sekaligus menjadi pemaklum bagi kita, bahwa pemainnya pun sudah pasti bukan orang sembarang.

Berpaling sejenak ke belakang, belajar dari para pendekar di Cina, mampukah kita di hari-hari ini tak sekadar berteriak lantang, “Say no to drug !” tapi lebih jauh, dengan berani dan sepenuh hati untuk, “war against to drugs !” Agar kita kelak tak kehilangan penerus estafet, tak kehilangan satu, dua generasi, karena –sebagaimana kata H. ISMET ISKANDAR, pada satu kesempatan kepada penulis, “…because these children carry our hopes and dreams for the future.”

Jadi, dengan memerangi penyalahgunaan narkotika kita tidak akan kehilangan ‘mimpi-mimpi’ itu, karena anak-anak kita pun adalah tumpuan harapan dan cita-cita, adalah mimpi-mimpi indah kita. ANDRE THERIQA 260605/031207

1– Lirik lagu: Sepercik Air, cipt A. Bharata dan dipopulerkan oleh Deddy Stanzah mantan vokalis The Rolliest.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Seereeemmm, choi. Mending kita penggal aza tuh kepala yg ngedarin.

Anonim mengatakan...

Setuju. Hukum harus ditegakkan! Hukuman mati harga yang pantas !!!

Anonim mengatakan...

Benar gak ya RM dan AA adalah jaringan mafia narkoba ???

Anonim mengatakan...

bangsa ibni suddah habis dibabat dan dirusaak parra bangsaat, man. celaka benerr anak cucu kita kalu pemerintah tidakk bbergerrak atw berrtinddak tegas dari sak iki. adik gw uda kena, abis barang di rumah dijualibn ma dia. brengsekk, kita kumpulinn susah payahh, eh akhirnyaa masusk ke peruut cukoong narkkobah. perang man, gw setuju banget, yo kiitta nyatakkan perang!!!