5.12.07

JALESVEVA JAYAMAHE

“... tjoema koewatir dihari kemoedian orang tida mengetahoei ma’soed dan toedjoehan ini, maka perloe dioekir ini Batoebor sekadar menerangken kami poenja berdaja bisa terkaboel katoeroetan, dan itoe ada dapet sawab, dan memanglah begitoe adanja.” ***

COBA Anda pejamkan mata sejenak. Bayangkan Anda seolah hidup di jaman Majapahit. Saat Anda sedang memandang ke laut lepas dari tempat Anda berdiri memaku di daerah Tanjung Burung di muara Cisadane, perlahan tampak oleh Anda sejumlah titik hitam nun di kaki langit. Kian Anda tatap, titik-titik itu kian membesar dan kian mendekat. Sejurus kemudian, Anda sadar bahwa sekelompok kapal yang aneh bentuknya sedang bergerak ke garis pantai, di mana kaki Anda masih mencengkeram pasirnya.
Karena takjub, tanpa sadar Anda tetap terpaku hingga para kapal melempar sauh. Lantas beberapa sekoci diturunkan dan merayapi gelombang kecil menyisir kuala menuju Anda. Dalam hitungan sejurus saja, telah berdiri di hadapan Anda, seorang yang tinggi besar, berbaju sayap dengan sulaman naga, beralis tegak mata sipit dan berjenggot prisma. Kulitnya halus kuning seperti belerang, menyungging senyum di ujung hidung seruncing pedang. Belum sempat Anda terkesiap, ia pun melempar sapa, “ Haiya..., Assalamu’alaikum Walamatullahi Wabalakatuh...”

Bagaimana kira-kira reaksi Anda ? Adakah Anda akan serta merta menjawab sapa tersebut atau memilih kabur atau merasa lebih baik untuk semaput ?
Dan seperti itulah yang kira-kira terjadi di kota bandar yang sempat menjadi tempat bersandar sang Laksamana Cheng Ho, terutama di Semarang tepat 600 tahun silam.
>>>^<<<

NENEK moyang penduduk Nusantara, menurut sejarah sebagaimana yang ditulis sejak jaman Belanda dan tetap dipercaya hingga saat ini, berasal dari Yunnan. Yunnan sendiri merupakan wilayah yang sejak jaman dinasti hingga saat ini, masuk teritorial Cina. Meski ada beberapa buku pelajaran SD-SMP dahulu, yang mungkin karena penulisnya rada alergi dengan Cina, menyebut Yunnan ada di wilayah perbatasan Vietnam dan Kamboja.

Jika nenek moyang orang di Nusantara ini, sama dengan nenek moyang Si Laksamana, mengapa kita masih saja harus terheran-heran jika ada orang yang punya mata sipit, kulit pucat, hidung runcing, yang memeluk agama Islam ? Atau sebaliknya, mengapa bagi orang-orang Cina jika ada dari golongan mereka yang memeluk agama Islam sering dipandang seakan-akan orang tersebut adalah pengkhianat besar ? Atau, jika ada mubalikh atau da’i yang berdarah Cina lantas kita perlakukan seolah-olah seorang pahlawan yang harus dimanja-manja ?

Semua itu terjadi akibat dimensi masa yang tersekat kultur yang tercipta akibat kebijakan politis. Bagi kita, RRC itu negara komunis. Bagi kita, negara komunis itu penduduknya kudu atheis. Sedangkan bagi orang Indonesia yang berdarah Cina, terpersepsi bahwa orang pribumi itu kudu Islam. Kebijakan Orde Baru yang alergi dengan segala sesuatu yang berbau Cina, pun dianggap sebagai perintah Islam. Sehingga jika ada yang mualaf, maka ia dianggap menyeberang ke kubu lawan.

Kesan itu pun belum total hilang hingga di masa sekarang, yang semenjak Gus Dur menjadi Presiden, akses bagi kegiatan dan kebudayaan Cina telah direhabilitasi. Contoh kental kasus ini diperlihatkan dan acap justru menjadi ‘senjata’ yang teramat dibanggakan oleh seorang da’i kondang asal Cirebon yang wajahnya mirip-mirip dengan Anton Medan. “ Kaca bukan sembarang kaca, kaca ini seindah pualam. Cina bukan sembarang cina, cina yang ini sudah masuk Islam.”

Nah, kalau Anda masih terbengong-bengong melihat si da’i yang sesekali keluar bahasa totoknya itu dan menjadi takjub olehnya, maka Anda sesungguhnya tak beranjak dari Tanjung Burung di kurun 600 tahun yang lalu.

>>>^<<<

CINA atau Tiongkok saat kita merasa perlu lebih mesra, menurut data Kantor Pemberitaan Dewan Negara RRC tahun 1991 memiliki sekitar 28 juta penduduk muslim dari 1,4 miliar total penduduknya. Saat ini, jumlah tersebut pastilah sudah bertambah banyak. Dari 50-an suku di sana, terdapat 10 suku yang memeluk Islam, yaitu: Hui, Uigur, Kazak, Tatar, Tajik, Uzbek, Kirgiz, Tungziang, Zala dan Pawan.

Bahkan menurut Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo, dalam cerita silat terbitan CV. Gema – Solo, di dalam salah satu karyanya yang berjudul Istana Pulau Es, disebutkan bahwa mayoritas orang yang bermarga Suma itu beragama Islam.

Islam masuk ke Cina, menurut kitab sejarah Ta Shi, Ziu Tsang Shu, dibawa oleh utusan Khalifah Uthaman ‘b Affan (557-656). Para utusan itu diterima dengan penuh persahabatan oleh Kaisar Dong Hui pada 25 Agustus 651. Semenjak itulah, Islam dikenal dan dianut oleh masyarakat Cina.

Catatan sejarah itu diperkuat oleh keberadaan Masjid Huai Sheng di Guangzhou yang didirikan pada 689 dan Masjid Niu Jie di Beijing yang dibangun tahun 996.

Persepsi keliru tentang penduduk negara komunis terbesar itu adalah atheis melulu, dibuktikan dengan keberadaan organisasi keagamaan sejenis majelis ulama sejak 1953, yang dijamin secara konstitusi. Padahal di sini MUI baru berdiri pada 1975.

>>>^<<<

NENEK moyangku orang pelaut, yang kerap dinyanyikan di masa kanak-kanak, mungkin kini menjadi bias. Yang dimaksud oleh pencipta lagu tersebut sesungguhnya nenek moyang yang mana ? Yang eksodus dari Yunnan di masa neo-lithikum yang kelak menjadi pribumi nusantara. Atau belasan ribu abk yang turut dalam rombongan Laksamana Cheng Ho, yang sebagian di antaranya lantas menetap di nusantara. Atau para nelayan kita yang kini tak lagi bisa melaut karena solar untuk mereka sudah tak terbeli.

Kisah tentang Laksamana Cheng Ho, memang tak bisa lepas dari catatan tentang Islam. Pun terhadap keperkasaan dan kemuktahirannya dalam menaklukkan laut. Dengan sistem navigasi yang canggih dewasa ini pun, belum lagi ada pelayaran yang menyertaan armada sebanyak apa yang dilakukan oleh admiral Dinasti Ming itu. Apalagi oleh armada TNI-AL kita.

Betapa masygulnya hati ini, saat tersiar kabar bahwa Kapal Patroli RI yang memergoki kapal maling ikan punya Malaysia yang dibuat tak berdaya dan malah minta maaf plus beberapa abk yang dipaksa nyebur ke laut.

Apakah masih kita bangga sebagai negara maritim yang punya nenek moyang pelaut, jika kenyataan menunjukkan bahwa kita masih belum beranjak dari kebodohan yang sama saat bangsa ini harus menjadi jajahan dari orang Eropa yang kemari dengan 3 kapal yang sudah terombang-ambing setengah tahun lebih di samudera luas.

Apakah kita tetap merasa gagah dengan berbagai slogan sansekerta yang mulai terasa asing di telinga generasi muda kita, yang kini lebih mengerti so what, on the way, suddently, I do my best ketimbang Praja Muda Karana, Bhinneka Tunggal Ika, Vivere Veri Colaso, apalagi Jalesveva Jayamahe.

Berharap pada hari ini, esok lusa, kita masih tetap hidup di darat dan jaya di laut, sehingga perompak dan penyelundup bbm bisa ditumpas habis, dan karenanya bbm tak lagi perlu naik. Dirgahayu ke-62 TNI AL! Di Laut (InsyaAllah) Kita Jaya. THERIQA 120805/051207
*** Kutipan dari Toean Tana Simongan, Oei Tjien Sien 1879.

Jalesveva Jayamahe dalam catatan:

Saat meresmikan Institut Angkatan Laut di Surabaya (1953), Presiden Sukarno berpesan, "... usahakan penyempurnaan keadaan kita ini dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan. Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya..., bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal. Bukan! Tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri."

Bung Karno membuktikan keinginan tersebut. Pada 1960, kekuatan Angkatan Laut Indonesia (ALRI) adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan komposisi 234 kapal perang ( 1 cruiser, 12 kapal selam, 7 destroyer, 7 fregat, dll.)

Keperdulian Pemimpin Bangsa yang memfokuskan kekuatan militer berdasar konstelasi geografis tersebut, terbukti keampuhannya dalam peristiwa pembebasan Irian Barat.

Saat ini, dalam catatan Jaleswari Pramodhawardani, seorang peneliti The Indonesian Institute, Jalesveva Jayamahe hampir tinggal mitos belaka. Luas laut kita yang 5,8 juta km2 yang dikitari garis pantai sepanjang 81.000 km, hanya dikawal oleh dua kapal selam reot buatan Howaldt Deutsche Werke 1981. Sementara alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang masih dapat diandalkan tinggal 40% saja. Sebagian besar alutsista tersebut sudah berusia antara 20-40 tahun.

Masihkah kita heran jika Sepatan-Ligitan melayang? Masihkah kita mampu dengan kepala tegak jika latihan militer bersama Singapura jadi dilaksanakan? Ataukah memang cukup kita berdiri di pinggir pantai sambil memandangi rob yang kian meninggi dan abrasi yang kian menggila, sementara anak-anak kita sudah lupa caranya berenang dan mengail ikan. BATMAN 051207

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Penulis gila, jayak perpustakaan hidup aja, nulis yang banyak broer.
dari sobat lama.