15.4.09

Frustrasi dan Gangguan Jiwa


Sikap negatif sejumlah calon anggota legislatif yang gagal memperoleh dukungan suara pada pemungutan suara lalu menunjukkan ketidakmatangan mental mereka. Para caleg yang merasa hebat tidak siap menghadapi kenyataan bahwa ternyata diri mereka tidak sehebat yang dipikirkan.

Hal itu diungkapkan dosen Psikologi Politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, Selasa (14/4). Ketidakmatangan mental itu dapat muncul dari yang paling ringan berupa ketidakmampuan berpikir jernih atau bertingkah laku buruk hingga tertawa atau menangis sendiri yang dikategorikan sebagai sakit jiwa.

”Ini indikasi jelas, sejak semula yang menjadi caleg adalah orang-orang yang tidak beres (kesehatan jiwanya),” katanya.

Mereka umumnya tidak siap dengan risiko kegagalan. Apalagi mereka telah mengeluarkan modal sangat besar dan menyisakan utang yang menumpuk.

Dosen Sosiologi Politik Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, menambahkan, kelakuan para caleg yang gagal mendulang suara itu menunjukkan kefrustrasian sosial. ”Ketidaksiapan mereka menghadapi kekecewaan menunjukkan gagalnya pembangunan etika politik,” katanya.

Proses demokrasi masih dianggap upaya mobilisasi vertikal dengan mengabaikan etika. Mereka berpolitik hanya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kekuasaan semata. Akibatnya, mereka menempuh berbagai macam cara untuk menang, baik dengan berbuat curang, tak jujur, maupun melakukan politik uang.

Kondisi itu melahirkan caleg terpilih yang berasal dari kelompok masyarakat dengan modal besar. Masyarakat pun akhirnya memberikan pilihan praktis dengan memilih caleg yang paling besar memberikan kontribusi bagi mereka. Frustrasi politisi yang bertemu dengan tindak pragmatis masyarakat membuat kualitas demokrasi terus merosot.

”Demokrasi kita sangat mewah (biaya besar), tetapi miskin etika politik,” katanya.

Target pribadi

Menurut Arie, guncangan yang melahirkan frustrasi sosial itu tak hanya dialami caleg yang gagal. Namun, caleg yang akan lolos menjadi anggota legislatif juga mengalami hal sama. Mereka yang lolos hanya akan berpikir untuk mencapai target pribadi, tetapi tidak siap dengan agenda normatif sebagai wakil rakyat.

Untuk menjadi caleg, seseorang cukup mendapat keterangan sehat dari dokter umum saja, tanpa perlu menunjukkan bukti kesehatan jiwa. Namun, jika diwajibkan memiliki bukti kesehatan mental, lanjut Hamdi, jumlah tenaga untuk memeriksa kesehatan mental mereka tidak mencukupi mengingat jumlah caleg untuk seluruh tingkatan lebih dari 100.000 orang.

Selain ketidaksiapan mental caleg, lanjut Hamdi, sistem pemilu multipartai dengan cara pengusungan caleg dengan sistem proporsional terbuka turut mendorong gangguan kejiwaan para caleg. Budaya berpartai di Indonesia masih sangat lemah.

Jarang partai yang mengader dan mendidik anggotanya hingga menjadi anggota partai yang benar-benar memahami politik dan tahu segala risikonya. Caleg hanya direkrut sebagai anggota partai beberapa bulan menjelang pendaftaran partai peserta pemilu. MZW/KOMPAS 150409