Saya sengaja mengambil waktu kontemplasi bertepatan dengan malam ketiga meninggalnya Presiden ke-2 Republik Indonesia, Almarhum Jenderal Besar Purnawirawan Haji Muhammad Soeharto, demikian nama lengkapnya kini. Dalam kontemplasi, selain saya tetap mendoakan kesejahteraan dan kesentosaan Pak Harto di alam barunya, saya juga beroleh banyak hal yang selama ini absurd di pandangan saya. Tapi catatan berikut ini, sebagian besar tidak ada kaitannya dengan kontemplasi tersebut.
Hampir seluruh media massa gegap gempita meliput habis-habisan peristiwa yang berkaitan dengan Pak Harto, mengenai kasus-kasus yang disangkutkan kepada almarhum, terutama tatkala beliau sakit hingga wafatnya. Tapi jika diperhatikan, alangkah menyedihkan bahasa yang menyertai sebagian besar pemberitaan itu, bahkan ketika perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga terkemuka memasang iklan duka cita.
Berbeda dengan Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno, Pak Harto lebih merasa enjoy dengan penulisan namanya dengan ejaan Soewandi, yaitu Soeharto. Bung Karno pada masa-masa terakhirnya, mempublikasi semua tulisannya dengan menggunakan ejaan Malindo, Sukarno, meski dua tahun terakhir pemerintahannya ia melancarkan Ganyang Malaysia.
Pak Harto adalah Presiden ke-2 Republik Indonesia, dan bukan Presiden Republik Indonesia ke-2. Karena Republik Indonesia masih tetap satu sampai saat ini.
Pak Harto juga bukan mantan Presiden ke-2 Republik Indonesia apalagi mantan Presiden Republik Indonesia ke-2. Karena setelah Pak Harto, tidak ada presiden ke-2 Republik Indonesia yang lebih baru, apalagi yang menggantikan Pak Harto sebagai presiden Republik Indonesia ke-2.
Pak Harto bukanlah RI-2, meskipun memang benar beliau adalah mantan Presiden Republik Indonesia, karena setelah beliau lengser keprabon, berturut-turut muncul presiden-presiden yang lebih baru yang menggantikan beliau dalam singgasana sebagai RI-1, yaitu: Prof. Dr. Eng. BJ. Habibie, KH. Abdurrachman Wahid, Hj. Megawati Soekarnoputri (penulisan Soekarnoputri pada Megawati berbeda dengan penulisan pada Guruh Sukarno Putra, padahal mereka berasal dari Ayahbunda yang sama, itulah uniknya Indonesia) dan Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono (yang tidak pernah bersedia mencantumkan dirinya sebagai Jenderal Purnawirawan).
Sedangkan RI-2 lazimnya adalah sebutan bagi seseorang yang menjabat sebagai wakil presiden. Pak Harto sebagai RI-1 pernah memiliki RI-2 berturut-turut sebagai berikut: Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1973), Adam Malik (1978), Umar Wirahadikusumah (1983), Sudharmono (1988), Try Sutrisno (1993), dan BJ. Habibie (1998). Sementara hingga saat ini baru ada dua RI-2 yang kemudian menjadi RI-1, yaitu BJ. Habibie dan Megawati Soekarnoputri.
Catatan sederhana di atas, adalah sebagian usaha saya untuk mengingatkan kepada kita semua, betapa untuk hal yang sepele dan sederhana, yang ada kaitannya dengan bahasa resmi kenegaraan yang kita pergunakan sehari-hari saja kita sering keliru, apalagi jika kita harus menyelami segala sifat, watak dan karakter manusia. Juga bagaimana kita jadi suka begitu sok tahu untuk menjadi hakim terhadap peristiwa-peristiwa yang sama sekali tidak kita alami secara langsung.
Kadang kita begitu mudah terprovokasi, bahkan ada kecenderungan kita suka menjadikan diri kita sebagai provokator, padahal esensi persoalan kadang tidak kita mengerti sama sekali.
Salah satu contoh yang paling aktual adalah tuduhan terhadap Pak Harto dari korban penembakan Trisakti. Secara politis, penembakan terhadap mahasiswa yang kemudian mengobarkan kemarahan massa secara kolosal itu merugikan Pak Harto, bagaimana mungkin jika Pak Harto dituduh bertanggungjawab terhadap penembakan tersebut. Peristiwa tuduhan itu sama saja dengan yang dialami oleh Bung Karno, sangat tidak logis jika Bung Karno dinyatakan sebagai dalang atau pihak yang mengetahui sebuah gerakan kudeta yang bermaksud menggulingkan pemerintahan dan kekuasaannya pada tahun 1965.
Ada kesamaan akhir kekuasaan Pak Harto dengan Bung Karno, dan inilah yang membuat kemudian saya menghargai keduanya.
Bung Karno dengan 'legowo' menyerahkan kekuasaannya kepada Pak Harto di saat ia merasa bahwa sudah tidak ada lagi waktu baginya untuk mempertahankan kekuasaan, padahal ia bisa saja bersikeras dengan kekuatan militer yang sebagian dari tiga angkatan masih memihaknya. Pak Harto juga demikian, ia sangat mungkin mengerahkan kekuatan militer yang sebagian besar ia besarkan dan masih sangat loyal padanya. Tapi kedua mantan presiden tersebut justru menukjukkan kenegarawanan mereka untuk memilih mandeg pandhito dengan tidak melakukan perlawanan berdarah.
Ada satu lagi kemiripan yang saya catat. Saat melantik Pak Harto sebagai Penjabat Presiden pada 12 Maret 1967 di hadapan MPRS, Bung Karno melakukan dengan tegar, penuh wibawa dan diakhiri dengan menjabat tangan penggantinya itu dengan senyum dan mengganggukkan kepala, pertanda bahwa Bung Karno mulai detik itu sudah menjadi rakyat biasa yang memberikan hormat kepada presidennya.
Pada 21 Mei 1998, di Istana Negara, Pak Harto pun menyampaikan pidato pengunduran dirinya dengan tegar untuk kemudian menyerahkan kepemimpinannya kepada BJ Habibie. Sebelum beliau meninggalkan Istana untuk menuju ke kediaman pribadinya di Cendana bersama Siti Hadianti Rumana dan Saadilah Moersyid, Pak Harto juga menyalami Habibie dengan senyum khasnya dan kemudian menganggukkan kepala sebagai tanda penghormatan dari seorang rakyat biasa kepada presidennya.
Dalam kehidupan manusia, selalu terdapat dua sisi yang saling bertolakbelakang namun senantiasa menyertai. Ada sisi positif, dan ada sisi negatif. Seluruh pemimpin di muka bumi juga seperti itu. Bahkan pemimpin spritual semacam Paus bagi umat Katolik di dalam lingkaran yang begitu sakral seperti Vatikan juga tidak urung dipenuhi dengan kontroversial.
JF Keneddy, presiden muda AS yang cuma tiga setengah tahun menjabat, kecerdasan dan popularitasnya tidak pernah sanggup menghindarkan dirinya dari gunjang-ganjing kehidupan pribadinya baik dengan istrinya Jacqueline yang kelak menikah dengan Onassis ataupun gossip kedekatannya dengan dan yang menyertai kematian Marylin Monroe. Semangatnya untuk mengembangkan pengetahuan antariksa ketika itu juga kemudian diragukan apakah gambar Neil Amstrong menjejakkan kaki di bulan adalah foto asli atau cuma montage.
Habibie, si jenius kecil didikan Pak Harto, pun tak luput dari kontroversi. Waktu yang cuma setahun kedudukannya sebagai RI-1 dicederai dengan lepasnya Timor Timur menjadi negara Timor Leste. Orang pun meragukan kepintaran Habibie dengan keputusan yang dianggap sangat tidak smart itu. Apalagi tatkala orang mengaitkan dengan pesawat-pesawat buatan IPTN yang cuma dibarter dengan ketan dan kedelai oleh negara lain.
Kontroversi tentang Bung Karno, ditulis lebih dari seratus buku, mulai dari yang dicetak dengan art-paper dan hard-cover sampai yang dijual dengan pola stensilan dan fotokopian. Mulai dari kisah Bu Inggit hingga pidato pamungkas yang bertitel Nawaksara. Saya sendiri memiliki lebih dari 50 buku yang ditulis oleh dan tentang Bung Karno.
Nah, apalagi tentang Pak Harto. Cerita tentang beliau belum tentu akan berakhir sepanjang dasa warsa ini. Hal tersebut akan sangat bergantung dengan perkembangan politik di negeri kita. Kontroversi semacam itu pasti akan terus berlanjut, baik oleh orang yang mengenalnya atau oleh orang-orang yang merasa, mengaku-aku mengenalnya. Oleh mereka yang memang mengetahui persoalan dan kejadian yang berlangsung, atau oleh mereka-mereka yang merasa tahu, berlagak tahu, sok tahu. Oleh mereka yang pernah dibesarkan oleh Pak Harto atau yang membesarkan diri dengan membonceng nama Pak Harto. Oleh orang yang memuja atau pun mereka yang mencacinya.
Sekali lagi, sejarah bukanlah apa yang telah terjadi. Sejarah lebih cenderung kepada apa yang sudah terlanjur tertulis, atau yang sengaja ditulis.
Banyak hal yang terjadi di republik ini, berlangsung sesuai dengan skenario yang sudah dirancang. Meski kadang, skenario itu terasa kasar dan sangat memuakkan. Seperti contoh, skenario yang dipaksakan untuk disutradarai oleh seorang sineas besar sekaliber Almarhum Arifin C. Noor, Pemberantasan (atau Pemberontakan?) G30S/PKI. Masak ada tentara yang bergerak pagi-pagi ke rumah Pangad (istilah ketika itu: Panglima Angkatan Darat) yang tidak mengenali wajah populis komandannya sendiri, AH. Nasution, sehingga harus salah menangkap Kapten (anumerta) Pierre Tendean?
Ah..., kontroversi tentang hal yang baik dan kenangan tentang keburukan memang adalah sebuah drama dunia. Tengoklah bagaimana orang-orang di Desa Kemusuk mengenang tempat lahir dan masa kecil Pak Harto. Bandingkan dengan masyarakat di Desa Kemusu yang seluruh desanya berubah menjadi Waduk Kedung Ombo. Apakah kita juga akan menjeratkan diri dalam kebiasaan yang sudah laten bangsa ini. Kedua desa yang berjarak tidak lebih dari seratus kilometer, yang lafalnya nyaris serupa, yang penulisannya hanya dibedakan dengan sebuah huruf 'k', tetapi memiliki pandangan dan kenangan yang sangat bertolak belakang terhadap satu sosok yang sama, HM. Soeharto.
Jika kita ingin membangun bangsa ini lebih dari yang ada sekarang ke depan, mulailah menatap tantangan-tantangan dengan lantang yang terhampar di hadapan, bukan sekadar mahir mengorek apa yang sudah terlanjur menjadi borok di belakang.
Anak bangsa yang akan membawa bangsa ini maju, bukanlah kanak-kanak yang hanya bisa memperolok pemimpinnya, menghujat kesana-kemari, mempersalahkan sejarah. Anak bangsa harapan Ibu Pertiwi, adalah mereka yang berjiwa besar, ksatria, yang tahu benar bagaimana membesarkan negeri ini, menjunjung tinggi martabat bangsa dengan tetap memperlihatkan pada dunia, bahwa negeri ini penuh dengan putra-putra bangsa yang terbaik, yang memahami kebesaran pendahulunya, yang menyimak kesalahan mereka untuk diperbaiki dengan cerdas dan bijak. Meminjam sedikit istilah Pak Harto, Mikul Dhuwur Mendham Jero.
Karena sesungguhnya, orang-orang besar bukanlah orang-orang yang merasa dirinya besar, tapi adalah orang-orang yang bisa membesarkan orang lain. ANDRETHERIQA 310108
CATATAN : PERLUAS JELAJAHMU TENTANG KEMUSUK, KEMUSU DAN PIDATO TERAKHIR HM. SOEHARTO DISINI.