21.11.07

BEBAS - BERINGAS - BERANGUS



Setiap manusia adalah pribadi yang merdeka.
Kemerdekaan pribadi itu harus berhenti tatkala telah mengganggu kemerdekaan pribadi yang lain.

MANUSIA, pada hakekatnya bebas, sama dan independen. Tak seorang pun dapat dikeluarkan dari keadaan ini dan tunduk kepada kekuasaan politik dari orang lain tanpa persetujuannya. Demikian awal tulisan John Locke pada 1690 yang kelak menjadi spirit disusunnya Declaration of Independence hingga ke The Universal Declaration of Human Rights, yang dikumandangkan demi penghidupan yang nyaman, aman dan damai satu dengan lainnya dalam suasana yang nikmat, tentram dan sejahtera.

Konon, bangsa kita dahulu kala adalah wangsa adiluhung yang di dalam-nya terkandung segala unsur terbaik dan agung dari sifat dasar makhluk paling mulia ini. Bahkan ekspos ‘keunggulan’ insan Nusantara ini secara gamblang telah dideklarasikan oleh Bung Karno di hadapan BPUPKI, 1 Juni 1945. “Jika bangsa Amerika memiliki Declaration of Independence, dan bangsa Tiongkok memiliki San Min Tsu Ie, maka bangsa Indonesia yang akan Merdeka ini memiliki Pancasila.” demikian Sang Proklamator memukau pendengarnya ketika itu. Pancasila itu adalah filosofi, adalah dasar pijakan, adalah ideologi bangsa ini, yang digali dari perjalanan dan nilai-nilai yang hidup di tengah bangsa ini dan telah turun-temurun semenjak jaman dahulu kala.

Sumber dari segala sumber hukum yang akan menjadi sokoguru Indonesia Merdeka itu, berisikan unsur persatuan, kemanusiaan, ketuhanan, musyawarah dan keadilan. Jika diperas, ia akan menjadi Trisila, dan jika diperas lagi maka ia akan menjadi Ekasila, yaitu sifat asli bangsa kita, gotong royong.

Dewasa ini, melalui pemberitaan, diskusi atawa seminar, buku bahkan di percakapan, yang menjadi topik justru adalah keadaan yang serba bertolak belakang dari semangat Piagam Hak Asasi Manusia, apalagi dari ruh Pancasila yang menurut Bung Karno seyogianya lebih sempurna ketimbang Declaration of Independen maupun San Min Tsu Ie tadi.

Sebentar kita tengok ke belakang dari era represi hingga reformasi, betapa karakter bangsa ini telah bergeser dahsyat akibat perjalanan yang amat mengguncang. Banyak pakar dan pengamat menilai bahwa apa yang terjadi pada Juli 1996 dan Mei 1998, adalah kulminasi dari situasi psikis dan psikologis bangsa yang sakit. Dan di kedua peristiwa amuk massa paling kolosal tersebut, kata gotong royong telah menjelma menjadi sesuatu yang menyeramkan, menakutkan dan amat memalukan.

>>^<<


DALAM perspektif dan skala yang lebih kecil, tindak tanduk yang menunjukkan gejala ‘sakit’ begitu banyak, begitu marak dan begitu berkesinambungan. Mulai dari preman yang berkelompok maupun yang sendiri-sendiri. Mulai dari bromocorah hingga ke tokoh kondang. Mulai dari kakek-nenek hingga ke kanak-kanak. Mulai dari majikan hingga ke pelayan. Mulai dari yang terhormat hingga ke sampah masyarakat. Bukan hanya yang buta huruf, tapi juga menghinggapi mereka yang gelarnya sudah seperti deret ukur. Dari yang penganggur sampai menghinggapi yang serba makmur.

Martabat yang luhur, ramah penuh senyum dan bersahabat yang dahulu begitu dikenal, yang masih sangat dikenang, entah mogsa ke mana. Yang tinggal saat ini, nyatanya adalah sifat curiga, cemberut, sumpah serapah, pesimis, apriori, paranoid, dan menyimpan bakat yang hebat untuk menjadi psikopat.

Apakah itu semua akibat dewasa ini ‘orang jujur cuma ada di komik’ – istilah Iwan Fals dalam lagunya, Nak -- ? Apakah benar karena pengaruh globalisme yang memungkinkan masuknya budaya-budaya asing tanpa mampu kita memfilternya ? Atau akibat krisis multi dimensi yang membuat terpuruk semua sendi sosial ? Atau memang sesungguhnya kisah yang begitu manis dan indah tentang leluhur kita itu sesungguhnya memang tak pernah ada ?

Dalam berbagai penulisan selama sepekan ini, beberapa fenomena tentang langkanya atau bahkan hilangnya hak untuk hidup aman, tentram dan lepas dari rasa takut dan terancam – sesuatu yang paling fundamental dari yang asasinya manusia – akan diangkat dan dipaparkan. Mungkin tak akan cukup untuk menjawab, apalagi hingga merucut menjadi solusi. Tapi setidaknya, itu semua berani kita bicarakan, dan mungkin cuma itu keberanian kita yang tersisa.

Kebebasan yang terampas bisa membuat orang menjadi beringas. Kebebasan yang berlebihan justru membuat orang lebih beringas. Tapi, keberingasan selain bisa membuat orang lain terberangus, bisa pula memberangus orang itu sendiri. ANDRE THERIQA 200605 (catatan: tulisan lama saya ini ditayang ulang lantaran beberapa waktu belakangan ini nyeri di ujung hati saya kambuh kembali akibat selintas mendengar di berita tentang bullying anak sma di jakarta dan genk-motor di bandung)

Tidak ada komentar: