22.11.07

AGATHA CHRISTIE dan SAYA

Bertahun-tahun lamanya saya mengoleksi buku Agatha Christie (AC). Semua bermula dari kesukaan saya pada Hercule Poirot yang berhasil mengelabui empat penjahat kaliber dunia dalam Empat Besar, buku pertama yang saya baca saat berusia 14 tahun.
Saya terpukau pada kecerdasan AC menciptakan “sel kelabu” yang katanya ada pada setiap otak manusia, asal mau mengasahnya. Karena uang saku yang sangat minim, saya tak dapat memanjakan diri dengan membeli buku-buku AC di dua toko buku besar yang waktu itu ada di kota saya.
Untungnya, salah satu toko, “Banten Membangun”, mengizinkan pengunjungnya membaca buku yang mereka pajang. Alhasil, sepulang sekolah, saya akan diam-diam membuka-buka buku AC dan melahapnya dalam keheningan mencekam, meskipun dengan risiko dimarahi ibu karena pulang terlambat.
Dua judul yang saya ingat adalah Dan Cermin pun Retak dan Buku Harian Josephine. Untunglah tak lama, seorang teman baru di SMP, Andre, memiliki banyak koleksi AC yang memenuhi lemari buku di kamarnya. Saya sempat meminjam (tanpa sempat mengembalikan) dua buku AC; Pembunuhan atas Roger Ackroyd dan Buku Harian Josephine yang saya baca ulang karena belum mengerti isinya.
Seorang teman saya, Sofie Dewayani, ikut andil dalam menerbitkan kembali minat saya terhadap buku-buku AC, setelah saya dewasa. Dari sekitar 60 buku yang sudah saya baca, Mawar Tak Berduri (MTB)—yang belum saya miliki—adalah karya AC yang paling membuat saya tergetar setelah Mereka Datang ke Bagdad (MDKB), Pena Beracun (PB), Hotel Bertram (HB), Pria Berstelan Coklat (PBC) dan Misteri Kereta Api Biru (MKAB).
Selain MDKB yang diterjemahkan oleh A. Rahartati Bambang Haryo, lima buku lainnya diterjemahkan Ny. Suwarni A.S. Bagi saya, Ny. Suwarni A.S. adalah penerjemah terbaik buku-buku AC. Beberapa penerjemah karya AC lainnya yang saya ketahui, yaitu Mareta, Lily Wibisono, Lanny Wasono, Indri K. Hidayat, Tanti Lesmana, dan Dra. Gyani Buditjahja. Sejauh ini, hasil terjemahan Ny. Suwarni yang saya anggap sangat mengalir dan lancar. Ia paling banyak menerjemahkan buku-buku AC.
MTB adalah kisah tragis berlatar belakang roman percintaan. Tokoh perempuan cantik bak mawar hutan tak terjamah mati di usia sangat muda meninggalkan orang-orang yang patah hati karena kehilangannya. Ketegangan luar biasa muncul ketika Eleanor, perempuan cerdas dan mandiri yang begitu membenci korban karena menyebabkan tunangannya berpaling, duduk di meja tersangka dengan segudang bukti yang terlalu mudah ditemukan, membuat Poirot curiga. Poirot berjuang keras mengungkap kebenaran. Mawar tak berdurilah—saya tidak tahu sebelumnya bahwa ada mawar yang tak berduri—yang membantunya memecahkan kasus itu, dan membebaskan orang tak bersalah dari hukuman berat.
Di awal kisah saya merasa tergetar oleh kesan roman yang begitu kuat dan memukau. Kematian perempuan muda, cantik lagi baik itu terasa menyakitkan, sehingga setelah tuntas membacanya, saya menghibur diri bahwa tidak semua yang kita inginkan harus terjadi. Saya ingin sekali perempuan itu tidak mati, tetapi tidak terjadi. Mungkin bila kejadiannya seperti yang saya inginkan, kesan yang saya rasakan takkan sekuat itu atau malah akan jadi cerita seru tanpa kesan apa pun. Mungkinkah kisah cinta berakhir tragis yang membuat saya begitu terkesan akan MTB? Entahlah.
Dalam MDKB dan MKAB kisahnya berlatar belakang petualangan seru yang brilian dengan sedikit sentuhan roman berakhir bahagia. Tokoh Victoria Jones dalam MDKB adalah perempuan muda yang sangat intuitif, sedikit kocak dan cerdas, sedangkan Katherine dalam MKAB adalah tokoh aneh yang paling saya kagumi karena keteguhan karakternya. Ada satu kalimat cukup berkesan ketika Victoria mendapati Edward yang semula digilainya ternyata seorang penjahat kelas atas yang memanfaatkannya; “Lucifer, Putra sang Fajar, betapa engkau kini jatuh?”, seolah dengan begitu segala perasaan yang semula menguasainya hilang tak berbekas.
AC sangat lihai mengedepankan tokoh perempuan tangguh, meskipun keselamatan menjadi taruhan. Victoria digambarkan sebagai seorang perempuan cerdas yang mampu menata ulang perasaan dan mengendalikan rasa takutnya hanya dalam hitungan detik.
Dalam MKAB, Poirot bekerja sama dengan Katherine yang tampil sebagai sosok bermata kelabu istimewa mengungkap kasus perampokan permata berkedok pembunuhan. Katherine yang menghabiskan sebagian besar hidup dengan mendengarkan, karenanya tak mudah berbicara, adalah jenis perempuan yang tak mudah terintimidasi. Dalam MKAB, sekali lagi sel kelabu Poirot menuntunnya pada penjahat kaliber dunia yang licik dan kejam sekaligus membebaskan Derek Kettering dari segala tuduhan.
HB adalah kasus Ms. Marple yang paling menegangkan. Biasanya kasus-kasus Ms. Marple selalu sederhana berlatar pedesaan. HB seolah menghadirkan Ms. Marple yang lain dan berbeda. Dalam HB dikisahkan aksi sekelompok penjahat andal yang menjadikan hotel itu sebagai pusat aksi mereka. Padahal sepanjang tahun orang-orang penting dan terkemuka mengunjungi hotel itu untuk menikmati liburan yang tenang dan tenteram. Dengan kecerdasan dan intuisinya, Ms. Marple mencium adanya skandal besar di hotel itu. Di akhir cerita, terbukti bahwa hampir seluruh staf hotel adalah anggota komplotan perampok besar yang dimotori oleh seorang Lady terkemuka dan Hotel Bertram menjadi tempat ideal untuk berlindung dari kecurigaan pihak berwenang.
PBC mengedepankan Anne Beddingfield, seorang perempuan sebatang kara, kuat, cerdas dan mandiri yang ingin melihat dunia. Dengan sedikit nasib baik dan percaya diri sangat besar, Anne berhasil bertualang melintasi samudera yang membuatnya terseret arus pusaran intrik tingkat tinggi. Tokoh antagonisnya ditampilkan sebagai orang tua lemah yang tak disangka-sangka menjadi penjahat dan pembunuh berbahaya.
Dalam PB, Ms. Marple tampil menjelang akhir cerita. Agak tak biasa memang, tapi AC seolah ingin lebih banyak menampilkan karakter-karakter lain, mungkin agar pembaca tak mudah bosan. Suasana pedesaan yang tenang-tenteram berubah geger setelah terjadi pembunuhan sadis di sebuah rumah. Yang menarik dalam PB adalah tokoh Megan, seorang gadis lulusan SMU yang digambarkan AC sebagai gadis cukup cerdas namun tak memedulikan penampilan; menurut Jerry, salah satu tokoh dalam PB, jika ia senang atau sedih, wajahnya sering tampak seperti kuda atau anjing.
Dalam beberapa karyanya, AC sering mengasosiasikan wajah seseorang dengan hewan tertentu. Beberapa teman dekat saya berpendapat bahwa karya-karya AC tidak terlalu “bergizi”, terlebih setelah mereka tahu bahwa Tirai adalah semacam autobiografi AC yang berganti “peran” menjadi Poirot yang membunuh diri di akhir kasus yang ditanganinya. Kalau pernah menonton film Agatha, tak salah jika Anda menyangka film itu sebagai kisah nyata kehidupan AC yang pernah mencoba bunuh diri setelah suami pertamanya berselingkuh dengan sekretarisnya. AC selamat berkat campur tangan seorang wartawan yang diam-diam mencintainya.
Setelah bercerai AC menikah lagi dengan Max Mallowan, seorang arkeolog masyhur. Beberapa bukunya terbit berdasar pengalamannya mengikuti perjalanan sang suami ke beberapa negara Timur Tengah. Rumah tangga dengan suami kedua ini berumur panjang, kalau tak salah hingga kematian. Saya tidak kecewa dengan kisah hidupnya yang suram itu.
Saya pikir setiap manusia pasti mengalami satu atau beberapa kali masa “gelap” yang menandai bahwa kita hanya manusia biasa, bisa sangat rapuh atau sangat kuat saat didera berbagai masalah, tak terkecuali AC, meskipun saya agak kecewa karena ia berani “membunuh” Poirot dalam Tirai.
Saya suka cara Poirot atau Ms. Marple menyelesaikan kasus-kasusnya, tak mudah ditebak, rumit, namun sistematik dan mengandalkan kelogisan serta kejernihan pikiran. Kesamaan metode mereka dalam menyelidiki kejahatan dengan membiarkan orang berbicara banyak-banyak mengenai apa pun. Saya pun menyukai jalinan kisah antar-manusia yang disuguhkan dengan sederhana dan menarik dalam bukunya.
AC berperan cukup besar dalam proses kepenulisan saya, meskipun saya tidak menulis cerita-cerita misteri. Satu hal paling kuat dalam karya AC adalah sisi psikologis tokoh-tokohnya yang digarap dengan baik. AC mampu menggambarkan sifat manusia yang secara umum sama di belahan bumi mana pun, dengan sangat menarik dan cukup logis.
Karena berpengalaman dengan buku-buku AC, saya sudah pintar menebak bahwa nama Charles atau Derek identik dengan sifat tidak bisa dipercaya dan flamboyan; Alfred dan Bantry biasanya menjadi tokoh patuh yang lamban dan membosankan. Untuk perempuan, AC biasanya menulis Joanna atau Arlena untuk tokoh manja, kaya dan sering gonta-ganti pasangan; Lydia biasanya mewakili tokoh perempuan utama yang cerdas dan efisien; Hilda untuk perempuan yang sering kali menjadi “ibu” bagi suaminya.
Apa yang saya dapatkan dari membaca buku-buku AC? Salah satunya adalah penilaian diam-diam yang sering saya lakukan atas diri teman-teman berdasar intuisi dan pengalaman membaca AC. Mungkin agak naif, tapi percaya atau tidak, sering kali penilaian saya tak terlalu meleset. Suami saya sering heran dengan kenyataan itu, tapi mungkin juga tidak sepenuhnya demikian.
Seorang sufi dan irfan yang hidup berabad-abad lalu pernah berwasiat, “Jadikanlah yang telah terjadi sebagai contoh bagi yang akan terjadi, sebab segala sesuatu banyak mengandung persamaan”. Bagi saya, hal itu benar adanya. Mungkin AC pun mengetahui hal itu dan memahaminya dengan baik. Siapa tahu?
Sel kelabu adalah hal misterius bagi saya. Setelah puluhan buku AC saya baca, saya tak terlalu yakin bisa menerangkan sel kelabu dengan tepat sesuai maksud penulisnya. Sel kelabu bisa jadi bagian dalam sel-sel otak yang jumlahnya miliaran, berupa titik terang jika kita sering berpikir teratur dan sistematik mengenai sesuatu. Mungkin sel kelabu memang ada pada semua orang, namun hanya sedikit yang menyadari keberadaannya.
Pada buku MTB, sel-sel kelabu Poirot menuntunnya ke tengah-tengah rumpun mawar tak berduri yang menjadi kunci segala pertanyaan membingungkan. Tapi bisa jadi itu hanya rekaan, karena hanya pada Poirot-lah sel kelabu itu dinisbahkan. Rasanya saya berani bertaruh bahwa AC sendiri tak tahu persis apa makna sel kelabu yang tidak ada pada Ms. Marple atau Tuppence dan Tommy, pasangan detektif yang beberapa kali muncul sebagai tokoh utama buku AC. Mungkin karena Poirot sering digambarkan demikian perfect dan agak sok, sehingga julukan-julukannya pun harus agak melangit alias tidak biasa.
Lama-kelamaan saya makin pintar menebak tersangka dalam buku AC, mungkin karena sudah makin berpengalaman membaca buku-bukunya. Kelemahannya, kalau boleh saya bilang begitu, adalah plot yang hampir-hampir mirip meskipun tak sama benar antara buku satu dengan buku lainnya. Walaupun demikian, saya selalu bisa merasakan kelancaran kata atau menemukan ketinggian budaya suatu bangsa yang ia beberkan dalam karya-karyanya, seperti pada Nemesis, Pembunuhan di Mesopotamia, Ledakan Dendam, dan lain-lain.
Dalam karya AC juga saya temukan penghargaan tinggi terhadap kehidupan, kemanusiaan, dan kesederhanaan. Kebetulan saya rasa, jika kemudian ia meramunya dalam kisah misteri. Dengan membaca dan mendalami karya-karyanya, timbul keyakinan dalam diri saya bahwa hidup adalah realita tidak mudah dan sering menciutkan nyali, tetapi kita tetap harus melanjutkan hidup yang penuh dengan pilihan dan kemungkinan ini, mungkin untuk bersaksi atas segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita, atau untuk belajar merasakan luka agar tak mudah melukai, kemudian menuangkannya dalam bentuk karya.
Baru-baru ini terpikir oleh saya, jangan-jangan AC seorang penyokong feminisme pada zamannya. Kesimpulan ini saya ambil karena dia kerap menampilkan tokoh-tokoh perempuan mandiri, cerdas, bervisi, berkarakter. Bukankah sosok feminis zaman sekarang selalu ditampilkan dalam ciri demikian? Tetapi bisa jadi ia hanya mencitrakan sosok-sosok yang diinginkannya. Kalaupun demikian, terima kasih Christie! SEPTINA FERNIATI 010704

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Agatha mang paporit gw,
tapi ini tulisan lo bkn?

banyak juga yang dikupas, sayangnya tidak sebanyak yang dah gw baca, hik-hik-hik