22.11.07

ADENG


“Perbanyaklah hal-hal yang dapat menjauhkan kamu dari keinginan yang pasti akan binasa, sehingga kamu memusatkan perhatian bagi kemaslahatan hidup yang abadi.” ***


MENGENAL Pa’ Adeng merupakan salah sebuah bonus dalam perjalanan hidupku. Betapa tidak, bersama-sama dengan beliau, begitu banyak hal yang ajaib, begitu banyak wawasan yang kuperoleh. Banyak aspek darinya yang sudah dan bisa dikupas. Beliau bak mata air yang tak kunjung asat, meski ditimba terus-terusan. Meski beliau orang besar, aku ingin menceritakan hal-hal kecil yang ia lakukan, yang justru membuat kekagumanku mengkristal. Hal-hal kecil yang mungkin luput dari amatan orang lain. Hal-hal kecil yang kadang justru merupakan ekspresi sifat asli seseorang, di luar hal-hal besar yang acap telah dengan rapi dibaluti kosmetika, dipolesi akting—oleh sebagian orang yang lain.

Pa’ Adeng sesungguhnya memiliki nama asli dengan initial III (triple I). Sekalangan pakar pernah mengatakan bahwa anak yang diberi nama dengan initial kembar, berkecenderungan besar untuk menjadi populer, sukses dan kharismatik. Fenomena itu ditampakkan oleh beberapa pesohor semisal: Brigitte Bardot, Helen Heyes, Claudette Colbert, Greer Garson, Jennifer Jones, Donald Daughlas, Douwes Decker, Charles (Charlie) Chaplin, Ronald Reagan, Marie de’Medisi, Christopher Columbus, Calvin Coolidge, Thomas Tolfor, Wilhem Wundt, Clausius Clay (kelak: Muhammad Ali), Alexander Agung, Mahathir Muhammad, Andre Agassi, dan masih banyak lagi.



Rata-rata nama yang kebetulan keingat tadi meski kembar namun hanya double initial, sedangkan Pa’ Adeng memiliki triple initial. Namun, jujur saja, bukan lantaran memiliki nama yang abjab pertama kembar itu, jikalau dikemudian hari saya berketetapan untuk total men-support beliau.


>>>^<<<


PA’ ADENG punya tiga anak. Putra-putri-putra, sendang diapit pancuran. Tiga-tiganya tidak pernah mempertunjukkan diri sebagai anak pejabat tinggi. Sekolahnya baik, kelakuannya baik, etikanya baik, dan wataknya baik. Terhadap ketiga anak tadi, Pa’ Adeng dan istrinya yang sudah tentu Bu Adeng, mewariskan tabiat dan rasa tanggung-jawab yang tebal.

Sebuah kejadian kecil yang sempat kusaksikan adalah: Meski siapapun yang ada di tanah ini maklum bahwasanya Pa’ Adeng merupakan tokoh yang begitu besar kontribusi dan pengorbanannya bagi tim sepakbola daerah, saat akan menonton tim tersebut yang bertanding di kandang, putra sulung beliau masih saja membeli tiket di loket. Tiket untuk tribune terbuka pula. Padahal, di tribune utama yang beratap, penuh sesak, meski tiket yang terjual cuma beberapa lembar.

Dua pancuran yang posturnya nurun sang Ayah, membuat pepatah lama yang berbunyi ‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya’ menjadi nyaris tak terbantahkan. Yang sulung, Kiki, maupun yang ragil Ruli, tidak merokok dan lebih memilih minum air putih. Di saat anak-anak pembesar akan merasa jayus habis jika tidak dugem dan ngedrugs, mereka malah cenderung belajar meniti karir. Si sulung memulai karir dengan belajar menjadi sub-kontraktor yang berpagu 20-an juta rupiah, itupun diam-diam, takut ketahuan bapaknya. Sedang si ragil, belajar hidup dengan mengorganisir parkir. Sudah pasti si kecil hanya kebagian lahan parkir kecil, karena yang besar sudah habis dimakan oleh orang-orang ‘besar’.



Dan yang paling mengharukan adalah saat saya menyaksikan adegan yang sungguh dramatis antara bapak dan anak, dua tahun lampau. Saat itu, kami semua terlibat dalam satu hajat di mana Pa’ Adeng maju sebagai salah satu kandidat untuk posisi yang beliau pegang sekarang. Dalam pergulatan yang sungguh teramat menyerap konsentrasi, pikiran dan perasaan itu, menjadikan hampir semua dari kami berada di suasana yang penuh tekanan.

Sehingga tanpa sadar, acap kami lepas kendali dalam gerak dan kerap bersuara dengan gusar. Kiki termasuk yang mengalaminya, meskipun untuk ukuran sebayanya, ia boleh dibilang sudah jauh lebih matang. Beberapa kali Pa’ Adeng merasa bahwa Kiki menggunakan suara dengan volume yang terlalu tinggi terhadap anaknya, yang adalah cucu kesayangan Pa’ Adeng. Sehingga pada satu ketika, tanpa menyadari kehadiran saya di sekitar mereka, Pa’ Adeng menegur Kiki, “ … Ki, Kiki stress karena Ayah nyalon bupati ? Kalau sekiranya pencalonan Ayah akan menyebabkan anak-anak Ayah berubah, stress dan marah-marah, Ayah akan mundur dan membatalkan saja pencalonan itu. Bagi Ayah, kalian lebih berharga dari jabatan apapun…”

Duh. Bukan Pa’ Adeng saja yang bicara dengan mata berkaca. Bukan hanya Kiki saja yang tertunduk di hadapan ayahnya dengan mata berkaca. Saya yang diijinkan Allah swt untuk menjadi saksi percakapan tersebut pun takjub dengan mata berkaca.


>>>^<<<


BUKAN sekali dua, orang melihat mata Pa’ Adeng belakangan ini sering berkaca-kaca. Ya, dua tahun sudah sosok gagah yang rada-rada mirip Kumpeni itu menduduki posisi yang persiapannya sempat bikin berat badanku hilang dua puluh kilogram itu. Banyak yang bertanya padaku, kok Pa’ Adeng begitu ? Jujur, saya pun sama tidak tahunya. Tapi yang pasti, meski beliau sering terkesan galak, sesungguhnya perasaannya amat peka dan halus, intuisinya teramat tajam.

Pa’ Adeng adalah pemimpin yang merintis karirnya dari dasar. Meski sempat menumpang lahir di daerah sedikit ke Barat, ia adalah anak bumi-putera. Sepanjang titian karirnya yang mendaki setapak demi setapak, ia merasakan kegundahan yang kian hari kian mengusik tidurnya. Apalagi, di awal karirnya, ia mempersunting dara daerah ini yang meski putri orang yang sangat terpandang, tak segan mendampinginya menjelata. Sang istri pun membantu karir Pa’ Adeng dengan memberikan sumbangsih yang luar biasa, amat sangat luar biasa.

Kegalauan yang menumpuk menggunung seiring perjalanan karirnya, menghadirkan kegelisahan. Kegelisahan yang mengkristal itu menjelma menjadi godam yang memecah temaram jiwa dan menggelegar menjadi bahana yang terus menerus memanggil hatinya. Panggilan hati itu pun yang ia turuti saat maju dalam proses suksesi. Dan karena niatnya adalah mengabdi, adalah ibadah, maka yang ia lakukan semata-mata adalah memohon doa dan restu. Bukan pada satu tokoh yang merasa dirinya adalah King’s Maker. Bukan pula pada paranormal, dukun atau bahkan para abnormal. Tapi pada banyak ulama dan rakyat biasa. Maka jadilah ia maju dalam pemilihan dengan diantar, dikawal, dijaga, diiringi oleh doa dan shalawat ratusan ulama yang sederhana, inosen dan mustajab.

Tapi, waktu dua tahun bukanlah rentang yang cukup untuk menuntaskan segala kegundahan, mengentaskan seluruh kegelisahan, dan mewujudkan semua impian dan obsesi beliau. Apalagi dengan keterbatasan ini itu, yang menghambat akselerasi. Apalagi dengan riak ini itu yang mencoba menjadi onak-duri.

Barangkali itulah sebabnya, sesaat menjelang diresmikannya dua bangunan monumental, Pa’ Adeng sering kelihatan berkaca-kaca. Masjid Al-Amjad dan Tangerang Islamic Center adalah prioritas utama beliau disamping persoalan pendidikan dan prasarana jalan. Dan itu sangat logis. Al-Amjad akan menjadi monumen abadi dari perjalanan kepemerintahan yang manipulatif. Mesjid itu tidak kunjung jadi bukan lantaran faktor finansial. Mesjid agung di Tigaraksa itu harus menunggu 12 tahun untuk hadirnya satu komitmen yang tegas bagi penyelesaian pembangunannya.

Bagi Pa’ Adeng, monumen yang juga menjadi landmark itu jauh lebih baik dalam wujud sebuah mesjid, daripada berupa airmancur menari, tugu pencakar langit, jembatan penyeberangan yang salah tempat, maupun gerbang-gerbang raksasa yang sesungguhnya cuma space iklan.

Sementara terhadap Islamic Center, jelas bahwa Tangerang yang agamis harus mewujud konkrit. Lagi pula, umaro yang baik adalah yang senantiasa berada di pintu ulamanya. Islamic Center disamping sebagai sentra syiar dan dakwah, sentra kebudayaan Islamiah, ia adalah ‘rumah’ para ulama kita –ia adalah sentra silaturrahim ulama, umaro dan ummat kita.


>>>^<<<


TANPA terasa, dua tahun berlalu sudah. Dua monumen mewujud sudah, secara fisik. Padahal, dua tahun ini begitu banyak perubahan ideologis, filosofis dan non fisik lainnya yang telah tertata. Banyak yang tak terbaca, tak tertangkap mata. Mereka hanya bisa tertangkap rasa. Pa’ Adeng pun sepertinya sengaja tidak mempermaklumkannya dalam propaganda. Tapi, siapapun tahu, orang yang seperti apa yang berani ‘melabrak’ gubernur, menteri, ketua umum pssi…, ah.

Tulisan ini sengaja didedikasikan bagi Pa’ Adeng, sebagai ucapan selamat atas selesainya pembangunan fisik Mesjid Al-Amjad dan Tangerang Islamic Center. Semoga Allah mencurahkan limpahan rahmat, hidayah, kesehatan dan umur panjang serta rezeki baginya.

Dan akhirnya, saya menutup empati ini dengan satu renungan. Jika dengan tiga huruf I saja, beliau sudah begitu arif dan cemerlang, bagaimana jika nama beliau adalah sape’i ? THERIQA 050805


*** Sabda Rasulallah Muhammad SAW.
** Adeng adalah nama kecil dari H. Ismet Iskandar, Bupati Tangerang

12 komentar:

Anonim mengatakan...

saya pengagum Pak Ismet, kalo betul itu yang lo maksud. Beliau memang sangat bijak en sederhana.

Anonim mengatakan...

Saya Salut dengan deskripsi Anda.
Kalo benar Pak Adeng adalah H. Ismet Iskandar, memang adalah pemimpin yang ideal di Tangerang. Saya dengar Pak Ismet mau maju lagi dalam pilkada ? Semoga sukses...

Anonim mengatakan...

Pak Adeng itu pasti Pak Ismet Iskandar ya kan ?
Wah, karena beliau Tangerang jadi khas ungu banget ya kan ?
Salut dan sepakat deh.

Anonim mengatakan...

Pak Adeng oh Pak Adeng, ortu gw sering cerita soal dia. Hebat dah fokoknya.

Anonim mengatakan...

bro, siapa emang nyang lo tampilin, bupati lo di tangerang?

Anonim mengatakan...

saya sangat menghormati and bangga dengan beliau yang bisa membuat tangerang "gemilang" apalagi dengan adanya islamic centre semoga sukses bapakku maju terus doa kami anak bangsa....

Anonim mengatakan...

Selain sangat menggugah, tulisan Bang Andre mengisaratkan alangkah idealnya jika sang Pa' Adeng bisa memimpin bangsa ini, negeri ini periode 2009 nanti. Goodluck, bro.

Anonim mengatakan...

Pastinya kisah ini bukan tentang sri sultan khan? Soalnya sri kan sultan bukan bupati, tul nggak? BAT, mendingan jujur aja deh, siapa sih yg luh tulis? Kayaknya luh simpati aja ma dia?

Anonim mengatakan...

Kayaknya itu release tulisan dua tahun yang lalu deh. Tul ga? Apa kondisi sekarang masih relevan? Kalo iya, gw mo tuh jadi team sucsessnya si pak adeng itu.

Anonim mengatakan...

Pilih Ismet - Rano,
udah pasti.

Anonim mengatakan...

hallo ndre..gwe mo komen dikit tentang tulisan 'pa adeng', pada bagian "pa adeng menyunting dara yg anak putri seorang terpandang rela mendampingi pa adeng 'menjelata'. gwe mo sedikit meluruskan bro..kalo pa adeng ngga jelata jelata amat laghee,beliau juga anak seorang tokoh masyarakat tangerang,dan pada saat menyunting bu adeng, bokap nya sedang menjabat sebagai pimpinan Bank Bumi Daya Tangerang. kalo terus mereka hidup prihatin di awal2 perkawinan mereka,krn mereka di didik utk tdk mengandalkan harta ortu mrk.(btw bokap2 mrk Ibrahim, ortu pa adeng dan Abdullah, ortu bu adeng adalah sama2 tokoh tangerang yg sama2 berjuang di front depan melawan penjajah,dan sama2 berjuang membangun tangerang.ortu mrk bersahabat karib)ok bro kalo lo butuh info komplit plit back ground ortu dan keluarga kandung pa adeng,lo boleh kontak gwe biar ga salah tulis krn gwe adalah adek spupu 'Pa Adeng'.

Anonim mengatakan...

satu lagi ndre..'pa adeng' yg begitu santun,cemerlang karena didikan ortu beliau juga lho ndre, buktinya kakak tertua pa adeng,adik2 nya juga orang2 yg well educated,beliau berkaca kaca sewaktu meresmikan masjid al amjad..karena beliau teringat akan perjuangan bokap nya mendirikan masjid agung tangerang (sebelah pendopo). bagusnya lo menampilkan biografi lengkap tentang pa adeng, biar orang2 yg baru dateng dan menetap di tangerang tau siapa dia,dan latar belakang nya,rterus terang gwe sebel ma gembar gembor lawan politiknya yg ngomong asal bunyi adalah Bull shit ! orang2 itu dont know nothing.. mana ada PUTRA ASLI tangerang mau bikin tanah tumpah darahnya bangkrut..gwe harap melalui tulisan lo,opini masyarakat tangerang yg baru datang,baru gde,faham,klo pa adeng pengen melanjut kan cita2 ortu nya membangun Tangerang tanah tumpah darah tercinta nya.