KAMI HANYA MENUNGGANGI OMBAK ITU KE PANTAI
(Tim Weiner: Membongkar Kegagalan CIA hal 329-334)
CIA mengingatkan Gedung Putih bahwa hilangnya pengaruh Amerika di Indonesia akan membuat kemenangan di Vietnam tak berarti. Dinas bekerja keras untuk menemukan pemimpin baru bagi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia itu.
Kemudian, pada tanggal 1 Oktober 1965, sebuah gempa politik pecah di Indonesia, tujuh tahun setelah CIA berusaha menggulingkan Presiden Sukarno. Manuver Sukarno mendekat ke kiri terbukti menjadi kesalahan fatal. Setidaknya lima jenderal dibunuh pada malam itu, termasuk kepala staf angkatan darat. Radio pemerintah mengumumkan bahwa sebuah dewan revolusioner telah mengambil alih kekuasaan untuk melindungi presiden dan bangsa dari CIA.
Stasiun di Jakarta memiliki segelintir kawan di militer atau pemerintah. Yang pasti, stasiun CIA memiliki seorang agen yang punya posisi baik: Adam Malik, mantan Marxis (penganut aliran Karl Marx) berusia 48 tahun yang mengabdi sebagai duta besar Sukarno di Moskow dan menteri perdagangannya.
Setelah terlibat dalam perseteruan permanen dengan presidennya pada tahun 1964, Malik bertemu dengan perwira CIA, Clyde McAvoy, di sebuah tempat rahasia dan aman di Jakarta. McAvoy adalah operator rahasia yang selama satu dekade sebelumnya telah membantu merekrut seorang perdana menteri masa depan bagi Jepang, dan dia datang ke Indonesia dengan tugas meyusup ke dalam PKI dan pemerintahan Sukarno.
“Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik,” ujar McAvoy dalam sebuah wawancara pada tahun 2005. “Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut.” Seorang kawan mereka telah memperkenalkan mereka, yang menguntungkan bagi McAvoy; perantara itu adalah seorang pengusaha Jepang di Jakarta dan mantan anggota sebuah partai komunis di Jepang. Setelah perekrutan Malik oleh CIA, Dinas mendapat persetujuan untuk meningkatkan program operasi rahasia buat mendorong sebuah baji politis di antara kelompok kiri dan kanan di Indonesia.
CIA berusaha mengonsolidasi sebuah pemerintah bayangan, sebuah kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik, sultan yang memerintah di Jawa Tengah, dan perwira tinggi angkatan darat berpangkat mayor jenderal bernama Soeharto. Malik memanfaatkan hubungannya dengan CIA untuk mengadakan serangkaian pertemuan rahasia dengan duta besar Amerika yang baru di Indonesia Marshall Green. Sang Duta Besar mengatakan bahwa dia bertemu dengan Adam Malik “di sebuah lokasi rahasia” dan mendapatkan “gambaran yang sangat jelas tentang apa yang dipikirkan Soeharto dan apa yang dipikirkan Malik serta apa yang mereka usulkan untuk dilakukan” buat membebaskan Indonesia dari komunisme melalui gerakan politik baru yang mereka pimpin, yang disebut Kap-Gestapu.
Pada pertengahan bulan Oktober 1965, Malik mengirimkan seorang pembantunya ke kediaman perwira politik senior kedutaan, Bob Martens, yang pernah bertugas di Moskow ketika Malik juga bertugas di sana. Martens menyerahkan kepada utusan Malik itu sebuah daftar yang tidak bersifat rahasia, yang berisi nama 67 pemimpin PKI. Dua minggu kemudian, Duta Besar Green dan kepala stasiun CIA di Jakarta, Hugh Tovar, mulai menerima laporan-laporan dari tangan kedua tentang semua pembunuhan dan kekejian yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, tempat ribuan orang dibantai oleh begitu banyak kelompok warga sipil atas persetujuan Jenderal Soeharto.
McGeorge Bundy dan saudaranya Bill, memutuskan bahwa Soeharto dan Kap-Gestapu layak mendapat bantuan Amerika. Duta Besar Green, setelah berunding dengan Hugh Tovar, mengirimkan pesan telegram kepada Bill Bundy, yang merekomendasikan pembayaran uang dalam jumlah yang cukup besar kepada Adam Malik:
Ini untuk menegaskan persetujuan saya sebelumnya bahwa kita menyediakan uang tunai sebesar Rp. 50 juta (= $ 10.000) buat Malik untuk membiayai semua kegiatan gerakan Kap-Gestapu. Kelompok aksi yang beranggotakan warga sipil tetapi dibentuk militer ini masih memikul kesulitan yang diakibatkan oleh semua upaya represif yang sedang berlangsung…. Kesediaan kita untuk membantu dia dengan cara ini, menurut saya, akan membuat Malik berpikir bahwa kita setuju dengan peran yang dimainkannya dalam semua kegiatan anti-PKI, dan akan memajukan hubungan kerja sama yang baik antara dia dan angkatan darat. Kemungkinan terdeteksinya atau terungkapnya dukungan kita dalam hal ini sangatlah kecil, sebagaimana setiap operasi “tas hitam” yang telah kita lakukan.
Sebuah gelombang besar kerusuhan mulai meningkat di Indonesia. Jenderal Soeharto dan gerakan Kap-Gestapu telah membunuh begitu banyak orang. Duta Besar Green kemudian memberi tahu Wakil Presiden Hubert H. Humphrey dalam sebuah pembicaraan di kantor wakil presiden di Gedung Capitol bahwa “300.000 sampai 400.000 orang telah dibantai” dalam “sebuah pertumbuhan darah besar-besaran.”
Duta Besar Green mengoreksi perkiraan angka kematian di Indonesia dalam sebuah rapat rahasia Komite Hubungan Luar Negeri Senat. “Saya kira kita harus menaikkan taksiran itu barangkali mendekati angka 500.000,” ujarnya dalam sebuah kesaksian yang dinyatakan deklasifikasi pada bulan Maret 2007. “Tentu saja, tidak ada orang yang tahu pasti. Kita hanya bisa menilainya berdasarkan keadaan semua desa yang telah menjadi sepi.”
Ketua komite itu, Senator J. William Fulbright dari Arkansas, mengajukan pertanyaan berikut dengan sungguh-sungguh dan langsung.
“CIA tidak punya peran apa-apa dalam kudeta itu?”
“Maksud Anda tahun 1958?” ujar Green. Dinas rahasia telah menjalankan kudeta tersebut, tentu saja, dari awal yang buruk dan ceroboh sampai ke akhir yang pahit. “Saya khawatir tidak bisa menjawab,” ukar Duta Besar. “Saya tidak tahu pasti apa yang terjadi.”
Sesaat yang penuh resiko membangkitkan suasana yang menegangkan yang hampir saja menabrak dan membongkar sebuah operasi yang mendatangkan malapetaka dan membawa konsekuensi yang fatal –tetapi Senator berhenti mengejar pertanyaan itu.
Lebih dari satu juta tahanan politik dipenjarakan oleh rezim baru ini. Beberapa tahanan tetap berada di dalam penjara selama beberapa dasawarsa. Beberapa lagi meninggal di dalam tahanan. Indonesia tetap menjadi pemerintahan diktator militer sampai berakhirnya perang dingin. Konsekuensi dari penindasan itu masih bergema sampai hari ini.
Amerika Serikat telah berupaya menyangkal selama 40 tahun dengan menyatakan tidak punya kaitan apa-apa dengan pembantaian yang dilaksanakan atas nama antikomunisme di Indonesia. “Kami tidak menciptakan ombak-ombak itu,” ujar Marshall Green. “Kami hanya menunggangi ombak-ombak itu ke pantai.” BAT 260109
(Tim Weiner: Membongkar Kegagalan CIA hal 329-334)
CIA mengingatkan Gedung Putih bahwa hilangnya pengaruh Amerika di Indonesia akan membuat kemenangan di Vietnam tak berarti. Dinas bekerja keras untuk menemukan pemimpin baru bagi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia itu.
Kemudian, pada tanggal 1 Oktober 1965, sebuah gempa politik pecah di Indonesia, tujuh tahun setelah CIA berusaha menggulingkan Presiden Sukarno. Manuver Sukarno mendekat ke kiri terbukti menjadi kesalahan fatal. Setidaknya lima jenderal dibunuh pada malam itu, termasuk kepala staf angkatan darat. Radio pemerintah mengumumkan bahwa sebuah dewan revolusioner telah mengambil alih kekuasaan untuk melindungi presiden dan bangsa dari CIA.
Stasiun di Jakarta memiliki segelintir kawan di militer atau pemerintah. Yang pasti, stasiun CIA memiliki seorang agen yang punya posisi baik: Adam Malik, mantan Marxis (penganut aliran Karl Marx) berusia 48 tahun yang mengabdi sebagai duta besar Sukarno di Moskow dan menteri perdagangannya.
Setelah terlibat dalam perseteruan permanen dengan presidennya pada tahun 1964, Malik bertemu dengan perwira CIA, Clyde McAvoy, di sebuah tempat rahasia dan aman di Jakarta. McAvoy adalah operator rahasia yang selama satu dekade sebelumnya telah membantu merekrut seorang perdana menteri masa depan bagi Jepang, dan dia datang ke Indonesia dengan tugas meyusup ke dalam PKI dan pemerintahan Sukarno.
“Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik,” ujar McAvoy dalam sebuah wawancara pada tahun 2005. “Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut.” Seorang kawan mereka telah memperkenalkan mereka, yang menguntungkan bagi McAvoy; perantara itu adalah seorang pengusaha Jepang di Jakarta dan mantan anggota sebuah partai komunis di Jepang. Setelah perekrutan Malik oleh CIA, Dinas mendapat persetujuan untuk meningkatkan program operasi rahasia buat mendorong sebuah baji politis di antara kelompok kiri dan kanan di Indonesia.
CIA berusaha mengonsolidasi sebuah pemerintah bayangan, sebuah kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik, sultan yang memerintah di Jawa Tengah, dan perwira tinggi angkatan darat berpangkat mayor jenderal bernama Soeharto. Malik memanfaatkan hubungannya dengan CIA untuk mengadakan serangkaian pertemuan rahasia dengan duta besar Amerika yang baru di Indonesia Marshall Green. Sang Duta Besar mengatakan bahwa dia bertemu dengan Adam Malik “di sebuah lokasi rahasia” dan mendapatkan “gambaran yang sangat jelas tentang apa yang dipikirkan Soeharto dan apa yang dipikirkan Malik serta apa yang mereka usulkan untuk dilakukan” buat membebaskan Indonesia dari komunisme melalui gerakan politik baru yang mereka pimpin, yang disebut Kap-Gestapu.
Pada pertengahan bulan Oktober 1965, Malik mengirimkan seorang pembantunya ke kediaman perwira politik senior kedutaan, Bob Martens, yang pernah bertugas di Moskow ketika Malik juga bertugas di sana. Martens menyerahkan kepada utusan Malik itu sebuah daftar yang tidak bersifat rahasia, yang berisi nama 67 pemimpin PKI. Dua minggu kemudian, Duta Besar Green dan kepala stasiun CIA di Jakarta, Hugh Tovar, mulai menerima laporan-laporan dari tangan kedua tentang semua pembunuhan dan kekejian yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, tempat ribuan orang dibantai oleh begitu banyak kelompok warga sipil atas persetujuan Jenderal Soeharto.
McGeorge Bundy dan saudaranya Bill, memutuskan bahwa Soeharto dan Kap-Gestapu layak mendapat bantuan Amerika. Duta Besar Green, setelah berunding dengan Hugh Tovar, mengirimkan pesan telegram kepada Bill Bundy, yang merekomendasikan pembayaran uang dalam jumlah yang cukup besar kepada Adam Malik:
Ini untuk menegaskan persetujuan saya sebelumnya bahwa kita menyediakan uang tunai sebesar Rp. 50 juta (= $ 10.000) buat Malik untuk membiayai semua kegiatan gerakan Kap-Gestapu. Kelompok aksi yang beranggotakan warga sipil tetapi dibentuk militer ini masih memikul kesulitan yang diakibatkan oleh semua upaya represif yang sedang berlangsung…. Kesediaan kita untuk membantu dia dengan cara ini, menurut saya, akan membuat Malik berpikir bahwa kita setuju dengan peran yang dimainkannya dalam semua kegiatan anti-PKI, dan akan memajukan hubungan kerja sama yang baik antara dia dan angkatan darat. Kemungkinan terdeteksinya atau terungkapnya dukungan kita dalam hal ini sangatlah kecil, sebagaimana setiap operasi “tas hitam” yang telah kita lakukan.
Sebuah gelombang besar kerusuhan mulai meningkat di Indonesia. Jenderal Soeharto dan gerakan Kap-Gestapu telah membunuh begitu banyak orang. Duta Besar Green kemudian memberi tahu Wakil Presiden Hubert H. Humphrey dalam sebuah pembicaraan di kantor wakil presiden di Gedung Capitol bahwa “300.000 sampai 400.000 orang telah dibantai” dalam “sebuah pertumbuhan darah besar-besaran.”
Duta Besar Green mengoreksi perkiraan angka kematian di Indonesia dalam sebuah rapat rahasia Komite Hubungan Luar Negeri Senat. “Saya kira kita harus menaikkan taksiran itu barangkali mendekati angka 500.000,” ujarnya dalam sebuah kesaksian yang dinyatakan deklasifikasi pada bulan Maret 2007. “Tentu saja, tidak ada orang yang tahu pasti. Kita hanya bisa menilainya berdasarkan keadaan semua desa yang telah menjadi sepi.”
Ketua komite itu, Senator J. William Fulbright dari Arkansas, mengajukan pertanyaan berikut dengan sungguh-sungguh dan langsung.
“CIA tidak punya peran apa-apa dalam kudeta itu?”
“Maksud Anda tahun 1958?” ujar Green. Dinas rahasia telah menjalankan kudeta tersebut, tentu saja, dari awal yang buruk dan ceroboh sampai ke akhir yang pahit. “Saya khawatir tidak bisa menjawab,” ukar Duta Besar. “Saya tidak tahu pasti apa yang terjadi.”
Sesaat yang penuh resiko membangkitkan suasana yang menegangkan yang hampir saja menabrak dan membongkar sebuah operasi yang mendatangkan malapetaka dan membawa konsekuensi yang fatal –tetapi Senator berhenti mengejar pertanyaan itu.
Lebih dari satu juta tahanan politik dipenjarakan oleh rezim baru ini. Beberapa tahanan tetap berada di dalam penjara selama beberapa dasawarsa. Beberapa lagi meninggal di dalam tahanan. Indonesia tetap menjadi pemerintahan diktator militer sampai berakhirnya perang dingin. Konsekuensi dari penindasan itu masih bergema sampai hari ini.
Amerika Serikat telah berupaya menyangkal selama 40 tahun dengan menyatakan tidak punya kaitan apa-apa dengan pembantaian yang dilaksanakan atas nama antikomunisme di Indonesia. “Kami tidak menciptakan ombak-ombak itu,” ujar Marshall Green. “Kami hanya menunggangi ombak-ombak itu ke pantai.” BAT 260109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar