22.2.09

2012


Heboh ramalan tahun 2012 sudah berlangsung lama, tetapi baru meluas sekitar 10 tahun terakhir. Penelitian tentang hal itu dilakukan banyak ahli dari berbagai bidang ilmu dan puluhan buku sudah diterbitkan.

Observasi astronomi sangat akurat selama berabad-abad para astronom genius Maya memberi pertanda, tanggal 21/12/2012 akan menjadi kelahiran zaman baru. Masa itu paling sakral sekaligus paling berbahaya dalam sejarah Bumi.

Menurut Laurence E Joseph dalam Apocalypse 2012, tanggal 21/12/2012 merupakan titik balik musim dingin tahunan ketika belahan Utara Bumi berada di titik terjauh dari Matahari sehingga siang sangat pendek.

Pada tanggal itu, tata surya dengan Matahari sebagai pusatnya, seperti diyakini bangsa Maya, akan menutupi pemandangan pusat Bimasakti dari Bumi. Para astronom Maya Kuno menganggap titik pusat ini sebagai rahim Bimasakti. Keyakinan itu didukung banyak pembuktian para astronom kontemporer bahwa di situlah tempat terciptanya bintang-bintang galaksi.

Saat ini, sejumlah lembaga penelitian ilmiah mengenai atmosfer, ruang angkasa, dan teknologi di Barat menduga ada lubang hitam tepat di pusat itu yang menyedot massa, energi, dan waktu, yang menjadi bahan baku penciptaan bintang masa depan.

Untuk pertama kalinya dalam 26.000 tahun, energi yang mengalir ke Bumi dari titik pusat Bimasakti akan sangat terganggu pada 21/12/2012, tepatnya pukul 11.11 malam. Semua itu disebabkan guncangan kecil pada rotasi Bumi.

Bangsa Maya yakin, sesingkat apa pun terputusnya pancaran dari pusat galaksi akan merusak keseimbangan mekanisme vital Bumi dan tubuh semua makhluk, termasuk manusia.

Memaknai ramalan

Ada yang menginterpretasikan 21/12/2002 sebagai ”kiamat”, tetapi banyak pula yang memaknainya secara kontemplatif.

Pakar psikologi transpersonal dari AS, Dr Beth Hedva, yang ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu, mengibaratkan Ibu Bumi sudah sangat dekat waktunya melahirkan. Proses kelahiran tak hanya diiringi darah dan penderitaan, tetapi juga harapan dan janji.

”Selalu terjadi kontraksi,” ujar Beth Hedva. Wujudnya perang, kekejian, dan bencana akibat penghancuran lingkungan dan perusakan atmosfer Bumi—dampak kebencian dan keserakahan manusia—serta bencana yang disebabkan faktor manusia dan nonmanusia.

Dalam antologi The Mystery 2012: Predictions, Prophecies & Possibilities (2007), ahli sistem komputer untuk ruang angkasa yang menjembatani ilmu pengetahuan dan spiritualitas, Gregg Braden, menyatakan, yang terpenting bukan apa yang akan terjadi, tetapi bagaimana potensi kolektif muncul dari pemahaman holistik dan kesadaran tentang siapa diri kita di tengah Semesta Raya.

Ahli fisika biologi dan ahli kanker pada Organisasi Kesehatan Dunia, Carl Johan Calleman, peneliti Kalender Maya, mengingatkan pada transformasi kesadaran manusia.
Robert K Stiler, Direktur Program Kajian Amerika Latin Universitas Stetson di DeLand, Florida, AS, menambahkan, ”Apa pun maknanya, bangsa Maya mengajak kita merengkuh hidup berkualitas dan kesehatan planet Bumi.”

Tahun 2012 adalah tahun berjaga dengan menyadari teknologi saja tak menjamin keberlangsungan Bumi. Begitu diingatkan José Argüelles, PhD, ahli Kalender Maya dan pakar sejarah seni dan estetika dari Universitas Chicago.

”Kalau kita tidak berjaga, planet Bumi akan hancur secara alamiah karena sekarang sudah jauh dari seimbang,” ia menambahkan. ”Pikiran manusia secara massal dikontrol dan dimanipulasi pemerintah dan institusi-institusi yang menjadi faktor kunci kehidupan modern.”

Christine Page, dokter medis, ahli homeopati dan kesehatan holistik, menjelaskan, tanggapan pada zaman baru sangat tergantung pada kemampuan memahami kesalingterkaitan dan menghargai Ibu Bumi. ”Alam dan semua makhluk hidup di Bumi adalah bagian diri kita yang harus diperlakukan penuh martabat, penghargaan, dan cinta,” ujarnya.Jadi, pilihan ada di tangan manusia: membiarkan planet Bumi hancur atau melanjutkan evolusinya.
MARIA HARTININGSIH 220209

18.2.09

Ponari (tak) Lagi Menari


Gara-gara menemukan sebuah batu saat petir menyambar, Ponari dianggap memiliki kekuatan untuk menyembuhkan. Lantas berbondong-bondonglah orang datang, ada yang memang karena penyakitan, tapi tak kalah banyak pula orang yang datang hanya karena penasaran.

Melihat pola pengobatan Ponari kecil hanya dengan menyelupkan si 'batu bertuah' ke air, tanpa jampi-mantera dan bahkan diagnosa, pantaskah Ponari disebut sebagai dukun?

Yang lebih heboh lagi adalah banyaknya pemberitaan yang menyebutkan bahwa keluarga Ponari kaya mendadak dan telah menjadi milyarder.

Nyatanya, Ponari tetaplah si kecil yang cuek, yang sederhana, yang kadang amat sangat masa bodoh dan terlihat bt, yang telah kehilangan waktu untuk belajar dan bermain.

Terlepas dari 'kesaktian'nya yang merupakan titisan Ki Ageng Selo, atau Gundala Putra Petir sekalipun, terlepas dari kemungkinan ia adalah sosok Satria Piningit, sewajarnya Ponari diselamatkan dari kepentingan selebrasi orang tua dan tetangganya, dari eksploitasi lingkungan dan pemda setempat, dari kecemburuan para dukun dan tabib, juga dus sekaligus dari sorot kamera media massa yang hyper-expose.

Bukankah gejala Ponari, hanya merupakan siklus lazim menjelang Pemilu, tak beda jauh dengan pertikaian Cathrine Wilson versus Ayu Soraya. Jadi janganlah menjadikan Ponari sebagai Ponirah, yang terpidana. ANDRETHERIQA 180209

14.2.09

Kasih Sayang

Secara tragis, Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat meninggal teraniaya angkara murka pengunjuk rasa yang ingin memaksakan kehendak mendirikan Provinsi Tapanuli.

Sebagai penghormatan dan penghargaan atas jasa-jasa mendiang Abdul Azis Angkat semasa hidupnya bagi negara dan bangsa, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, berdasarkan kesepakatan dengan musyawarah pimpinan daerah (muspida) setempat, berhasrat melaksanakan pemakaman jenazah Abdul Azis Angkat di Taman Makam Pahlawan (TMP) Bukit Barisan di Medan.

Persiapan untuk pemakaman dilakukan, hingga menggali liang kubur. Namun, dalam suatu kesempatan di rumah duka, Wakil Gubernur Sumut menyampaikan perkembangan baru, ”Pihak keluarga mempertimbangkan keinginan istri almarhum yang ingin nantinya jika wafat bisa dikebumikan di samping makam suaminya. Tentu hal itu akan sulit jika almarhum dimakamkan di TMP”.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pun mematuhi keinginan keluarga. Jenazah Abdul Azis Angkat dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Ekarasmi.

Tafakur

Peristiwa yang terkesan sederhana itu mengharu biru sanubari saya, membawa nurani saya ke alam tafakur. Pemakaman merupakan bentuk ritual peradaban dan kebudayaan yang membedakan manusia dengan jenis makhluk hidup lain. Hanya spesies Homo sapiens yang memakamkan jenazah sesama yang telah meninggal dunia. Maka, pemakaman merupakan salah satu ritual terpenting dalam jalur kehidupan manusia.

Tujuan utama pemakaman adalah sebagai mempersembahkan kehormatan dan penghormatan, baik bagi yang meninggal maupun yang ditinggal.

Di sisi lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pahlawan merupakan gelar kehormatan amat tinggi, maka amat didambakan. Dikebumikan di TMP merupakan bentuk kehormatan dan penghormatan sangat terhormat bagi yang meninggal maupun yang ditinggalkan.

Memang di dunia fana, insan yang telah meninggal dunia tidak lagi bisa secara ragawi merasakan kehormatan dan penghormatan yang diberikan kepadanya. Namun, bagi keluarga yang ditinggalkan, pemakaman almarhum atau almarhumah di TMP merupakan kehormatan yang amat bermakna, maka amat didambakan banyak pihak.

Bagi yang merasa dirinya pengabdi negara, bangsa, dan rakyat, pemakaman di TMP merupakan anugerah penghargaan dan penghormatan atas jasa-jasa darma baktinya. Apalagi di masa begitu banyak pihak gigih berebut menjadi pengabdi negara dan bangsa yang disebut sebagai wakil rakyat. Diakui atau tidak, pemakaman di TMP merupakan anugerah kehormatan dan penghormatan yang didambakan para politisi masa kini yang sudah wafat maupun sanak keluarganya yang masih hidup.

Terharu

Saya terharu karena di tengah kemelut gejolak beragam semangat ambisi mereka yang disebut abdi negara, bangsa, dan rakyat, secara tulus atau tidak, mendadak tampil suasana yang amat berbeda. Sebuah dambaan sederhana yang lebih mengutamakan kasih sayang antarinsan ketimbang dambaan atas kilau gemerlap kehormatan dan penghormatan dengan suasana bergelar menggetar sukma kepahlawanan kenegaraan dan kebangsaan.

Seolah suasana kebisingan yang sedang memekak telinga mendadak berubah menjadi suasana keheningan yang lembut menyentuh, lalu membelai sanubari. Peristiwa penolakan pemakaman di TMP di Medan itu mengingatkan saya kepada ketulusan kerendahan hati almarhum pahlawan nasional yang jasanya tiada terhingga bagi bangsa dan negara, Bung Hatta. Proklamator kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia ini dengan rendah hati secara tulus menginginkan jenazah dirinya disemayamkan bukan di TMP, tetapi di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Di dunia fana sampai ke alam baka, Bung Hatta konsekuen dan konsisten ingin selalu dekat dengan rakyat.

Adiluhur

Penghormatan setinggi-tingginya layak diberikan kepada sikap keluarga almarhum Abdul Azis Angkat mendukung penolakan pihak istri terhadap pemakaman jenazah suami di TMP semata agar di kemudian hari jika sang istri wafat, dapat disemayamkan di sanding sang suami tercinta, bukan di TMP, tetapi di taman pemakaman rakyat biasa.

Peristiwa mengharukan ini menyadarkan kita, sebenarnya masih ada nilai-nilai kehidupan manusia jauh lebih mulia, agung, dan luhur ketimbang sekadar nilai-nilai politik duniawi, apalagi yang berlumuran kebencian dan kekerasan!

Kasih sayang merupakan nilai adiluhur di atas segalanya dalam kehidupan manusia. Maka, jelas amat keliru jika manusia sampai khilaf meninggalkan, melupakan, mengorbankan, apalagi mengkhianati nilai-nilai kasih sayang dalam bersama menempuh perjalanan hidup nan sarat kemelut deru campur debu bepercik keringat, air mata, dan darah. JAYA SUPRANA 140209

8.2.09

Memoar Pulau Buru


MEMOAR PULAU BURU
HERSRI SETIAWAN
Pustaka SemburatJingga 02010937500


Kedua kader itu ditelanjangi para pemeriksa, dipermak dengan berbagai cara, kemudian dipaksa naik di atas meja interogasi. Dalam posisi tubuh telentang dan tengkurap menjadi satu, dililit kedua-duanya dengan kabel penyetrum, lalu dipaksa bersetubuh dan arus listrik dialirkan…

Dengan pemukul sebatang benda keras apa saja, dari gagang karaben sampai gagang cangkul, mereka hantami tubuh-tubuh telanjang tapol yang berlutut di tanah lapang. Semua tapol hanya bias melindungi kepala dengan tangan masing-masing, atau yang di barisan belakang menyusupkan kepala mereka di bawah kaki kawan mereka yang di barisan depan. Sembilan tapol mati seketika…

Peristiwa 30 September 1965 adalah catatan hitam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa ini masih meninggalkan banyak pertanyaan tak terjawab hingga saat ini. Kita bias merunutnya mulai dari tidak dilaksanakannya pengadilan yang resmi dan memadai berkaitan dengan tragedy besar ini. Yang tinggal adalah pertanyaan-pertanyaan dan kontroversi-kontroversi. Misalnya, benar tidaknya PKI mendalangi dan mencoba melakukan kudeta; konstelasi politik macam apa yang terjadi di antara pemimpin politik, militer, dan pemerintahan; ada tidaknya campur tangan pihak asing; apa dan bagaimana kejadian di Lubang Buaya; mengapa terjadi kekejian dan pembunuhan di antara massa rakyat, dan seterusnya.

Pulau Buru adalah tempat pembuangan para tahanan politik pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Pulau ini adalah saksi bisu sejarah kelam bangsa Indonesia. Ada banyak anak manusia yang ditindas dan dinistakan, mulai dari tokoh puncak PKI sampai anggota tidak resmi partai dan kelompok-kelompok yang sealiran. Bahkan, ada juga mereka yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa “September Hitam” itu; rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa tentang politik dan kekuasaan.

Hersri Setiawan memiliki riwayat masa lal sebagai aktivis Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi yang ditahbiskan sebagai bagian inti PKI. Lahir dalam lingkungan keluarga priyayi-nasionalis, Hersri Setiawan tumbuh menjadi pemuda aktivis seni dan budaya. Ia banyak menulis di berbagai media, pengajar, pengurus organisasi kesenian, dan sebagainya. Perjalanan karier sebagai aktivis seni dan budaya membawa Hersri Setiawan aktif di Front Nasional dan Lekra, kemudian menjadi wakil Indonesia dalam organisasi pengarang Asia-Afrika di Kolombo.

Disebabkan kekisruhan politik di Kolombo, Sri Lanka, Hersri Setiawan pulang ke Indonesia, hanya untuk menjumpai kekisruhan politik yang lebih genting lagi. Demikianlah, ia terseret dalam rangkaian “September Hitam” yang sama sekali tidak dipahaminya. Ia tidak paham peta organisasi Lekra dan PKI yang sekian lama ditinggalkannya, ia juga tidak paham dengan konstelasi politik yang terjadi di masa genting itu. Yang kemudian terjadi adalah, ia ditingkap dan dipenjara sebagai tahanan politik Orde Baru. Dan kemudian di-Buru-kan.

Memoar Pulau Buru ini adalah sebuah buku yang disusun berdasarkan manuskrip “Di Sela-Sela Intaian”. Tulisan-tulisan dalam buku ini adalah catatan-catatan pribadi Hersri Setiawan atas kehidupannya sebagai tahanan politik Orde Baru. Ditulis setelah ia menjadi orang usiran dan tinggal di Belanda,catatan-catatan yang kemudian disusun menjadi sebuah buku ini menjadi rekaman dan refleksi yang sangat berharga bagi bangsa ini.

Bagaimanapun, Hersri Setiawan dalam buku ini berhasil membebaskan diri dari tempurung picik budaya politik dan kekuasaan. Apa yang termuat dalam buku ini adalah sejarah tentang manusia dan kemanusiaan. Dengan buku ini, Hersri menemukan kebebasan dan kemerdekaannya. Ia telah melunaskan tugasnya sebagai anak manusia yang secara asasi adalah manusia merdeka. Ia berhasil menyuarakan apa yang selama ini terpendam dan tersumbat di setiap pori-pori kehidupannya: kepahitan, kegetiran, kesakitan, dan kekejian yang ia alami sebagai tahanan politik Orde Baru. Lebih dari itu, ia juga sekaligus menyuarakan derita dan kepedihan tak tertanggungkan kawan-kawannya sesame tahanan politik Pulau Buru. INDONESIA TERA 280109

Dari Langit


DARI LANGIT
KUMPULAN ESAI TENTANG MANUSIA, MASYARAKAT, DAN KEKUASAAN
RIZAL MALLARANGENG
Pustaka SemburatJingga 09010960000

Rizal Mallarangeng lahir di Makassar 29 Oktober 1964. Beberapa waktu lampau ia kerap tampil di pariwara televisi untuk menyuarakan perlunya kaum muda tampil sebagai pemimpin negeri ini. Salah satu ucapan yang khas ia lontarkan adalah, di mana ada kemauan di sana ada jalan.

Bahana pencalonan diri sebagai presiden meredup bersamaan dengan kesadarannya bahwa secara logis ia belum mampu melawan status-quo, terutama dari sisi modal. Betapapun, ia telah memberi warna, bahwa memang ada yang salah dalam terapan politik kita, mengapa selalu saja yang layak tidak mampu untuk bisa muncul sebagai pemimpin.

Berikut adalah cuplikan tulisan Rizal Mallarangeng pada 22 Juli 2008 yang diberi label “Surat Buat Semua”, bagian terakhir buku “Dari Langit” yang menurut hemat saya bisa memberi gambaran seperti apa jalan pikiran Rizal, yang sekaligus menjadi soko guru seluruh rangkaian tulisannya di buku tersebut.

>>>^<<<
Saya ingin mengucapkan terimakasih atas perhatian dan simpati Anda semua, baik yang berada di tanah air maupun yang di luar negeri. Dalam waktu singkat, lewat Facebook, milis-milis internet, maupun media massa konvensional, begitu banyak yang memberi komentar, salam persahabatan, dukungan, pertanyaan, keraguan, hingga kritik yang tajam terhadap saya.
Dalam kesempatan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa alasan utama bagi saya untuk tampil sekarang adalah untuk memberi alternatif baru dalam proses pemilihan kepemimpinan nasional. Sebenarnya, soal ini bukanlah soal saya sebagai pribadi, tetapi persoalan sebuah generasi dan sebuah bangsa yang harus terus bergerak maju.
Sejak 10 tahun terakhir, pilihan-pilihan kepemimpinan nasional tidak banyak berubah. Gus Dur dan Amien Rais tampaknya masih ingin ikut pemilihan presiden tahun depan, mendampingi Presiden SBY dan Wapres Kalla serta Megawati. Begitu juga Jenderal (purn.) Wiranto dan Letjen (purn.) Prabowo. Mungkin Sultan Hamengkubuwono X dan Letjen (purn.) Sutiyoso juga akan turut serta.
Saya menghormati tokoh-tokoh senior tersebut. Tapi apakah pilihan kepemimpinan nasional harus berkisar hanya di seputar mereka, sebagaimana yang terjadi setelah Soeharto lengser? Apakah di Indonesia terjadi stagnasi dalam sirkulasi kepemimpinan nasional, sehingga wajah-wajah baru tidak mungkin muncul sama sekali. Jika di Amerika Serikat muncul Obama (47 th) dan di Rusia ada Medvedev (44 th), mengapa kita tidak? Bukankah Republik Indonesia sebenarnya dipelopori oleh para tokoh yang saat itu berusia muda, seperti dr Tjipto Mangunkusumo, HOS Tjokroaminoto, Sukarno, Hatta, Sjahrir?
Pemikiran seperti itulah yang memberanikan saya untuk tampil sekarang. Dengan segala kelemahan yang ada, saya bersyukur mendapat kesempatan untuk melakukannya.
Saya bukan menteri atau mantan menteri. Saya bukan ketua umum partai, bukan presiden atau mantan presiden, bukan jenderal berbintang, bukan anak proklamator, bukan pejabat tinggi, bukan bekas panglima TNI, bukan pula orang kaya-raya atau anak orang kaya-raya. “Rizal,” kata kawan-kawan dekat saya, “You are a bit crazy. No, damn crazy!”

Bahkan bukan hanya kawan-kawan saya saja, bekas guru besar saya di Columbus, AS, yang sangat saya sayangi pun, Prof. Bill Liddle, berkomentar lirih, “The time is not yours yet. My dear Celli (nama kecil saya), you don’t have any chance whatsoever.”

Terhadap semua itu, saya hanya bisa menjawab, “Mungkin Anda benar.” Semboyan kampanye saya pun bunyinya rada mirip, if there is a will, there is a way. Pada tahap awal ini, yang ada hanyalah kehendak, kemauan, keberanian, dan hampir tidak ada lagi yang lainnya. Terhadap Bill Liddle saya sempat membalas emailnya dengan kalimat ini: Pak Bill, the “will” is here, and I am working out the “way”.

Dengan wacana akan pilihan baru tersebut, siapapun orangnya, kita bisa mengatakan kepada dunia, bahkan kepada diri kita sendiri, we are a country on the move. Zaman berubah, Indonesia berubah. Zaman bergerak, Indonesia bergerak. Kita telah memecahkan glass-ceiling yang membatasi kita selama ini dalam membicarakan kemungkinan baru tersebut. BAT310109