12.2.08

Membaca TitikTuju, Membaca AndreTheriqa



"Tampillah sebagai pemenang dalam kehidupan.
Jangan sekali-kali larut dalam delusi fatamorgana.
Sekali hidup penuh arti.
Sekali bekerja bergetar dunia karena prestasi
."

SETIAP diri kita harus tampil sebagai pemikir dan pejuang, kreator dan pendobrak. Tidak ada kata statis dalam kehidupan, sebab statis berarti pengkhianatan yang memalukan. Demikian juga halnya tidak ada kata diam dalam membangun kebenaran, "Silence is worse all thruths that are kept silent become poisnous." Kata-kata inilah barangkali yang dijadikan motivasi oleh seorang Andre Theriqa dalam menumpahkan kreativitasnya.

Tulisan Andre Theriqa lebih mencerminkan sebuah ‘gumam’ atau lebih bersifat reflektif, sebuah lontaran nurani yang datangnya sangat impulsif. Hatinya gelisah bila melihat kemungkaran. Selalu haus ingin menebar marhamah kasih sayang. Jiwanya meronta untuk tampil dalam prestasi yang utuh. Dia keras dalam prinsip, tetapi bijaksana dan lembut dalam penyampaian.

Setelah membaca tulisannya, kita akan mendapatkan butir-butir hikmah yang mendalam serta akan mampu menghayati, memahami dan menemukan jawabannya sesuai dengan yang diharapkan oleh sang penulis, mencapai TitikTuju.

Tangerang, Maret 2006.

H. DIDI ADIWIJAYA, TOKOH MASYARAKAT TANGERANG

Pengantar TitikTuju-nya AndreTheriqa



TITIKTUJU, bukanlah ‘titik tujuh’. Bukan pula titik yang bertujuan. Apalagi titik yang berjumlah tujuh dan bertujuan. Bukan. TitikTuju adalah suatu proses. Proses menuju ‘akhir’ yang tidak bisa ditentukan kapan akan berakhir, oleh siapapun yang bisa berakhir. Itulah yang hendak penulis buku ini sampaikan kepada pembacanya, yang sudi meluangkan waktu untuk mengembara dalam perenungan, sebuah kontemplasi yang bermakna, bernas, dan memiliki sisi humanisme yang kuat. Walaupun sudah pernah dipublikasikan secara berkala di Media Tangerang, namun penerbitan menjadi satu buku ini masih memiliki daya tarik untuk dibaca, ditelaah, dimaknai dan dinikmati bukan sekadar untuk meluangkan waktu belaka.

Melalui TitikTuju, pembaca seakan diajak untuk menjelajahi perenungan seorang anak manusia, Andre Theriqa, dengan tetap menginjak bumi, dengan hati nurani, dengan cinta, dengan kasih sayang dan dengan tetap memanusiakan "manusia". Tulisan dalam TitikTuju, adalah kumpulan tulisan yang dibuat seketika –ketika sang penulis merasakan getaran khusus, terinspirasi untuk menuangkan dalam tulisan beberapa waktu silam. Kesadaran untuk berbagi pengalaman dari sang penulis inilah, hingga merasa perlu untuk mengumpulkan kembali tulisan-tulisan yang berserakan, mengedit dan membukukannya, untuk pembaca yang budiman. Buku yang ada di tangan pembaca ini, adalah cetakan kedua, setelah cetakan pertamanya habis dibagi-bagikan kepada handai taulan. Ternyata, tuntutan untuk mencetak yang kedua, tidak mampu ditolak oleh penulis, yang memang tidak pernah bisa menolak permintaan orang. Apalagi permintaan untuk berbagi sebuah pengalaman, perenungan untuk nilai-nilai kemanusiaan.

Beberapa tulisan dalam TitikTuju, sengaja didedikasikan untuk beberapa tokoh, --yang dikenal dan mengenal—Andre Theriqa, sang penulis. Penulis tampak terkesan dengan peristiwa-peristiwa yang dialami bersama sang tokoh, walau sederhana dan singkat saat peristiwa itu terjadi, tapi bagi Andre Theriqa peristiwa itu memiliki sisi-sisi humanisme yang dalam dari sang tokoh. Hal ini tampak dalam tulisan bertajuk "Adeng", "EMC dari Bunda", "DRH" dan sebagainya. Hingga pembaca, akan larut bersama dengan bayangan tokoh yang juga dikenal oleh pembaca di Tangerang. Sebuah ‘kota’ yang tengah ditarik oleh modernisasi untuk memisahkan sisi "kemanusiaan" dari manusia penghuninya.

Memang ada beberapa tulisan dalam TitikTuju, ketika diedit kembali beberapa waktu kemudian (enam angka di belakang tulisan), sudah kehilangan ‘momentum’-nya, jika dibandingkan dengan suasana batin ketika tulisan itu dibuat, sesaat setelah peristiwa itu dialami. Terasa ‘kering’, ketika penulis mengeditnya lagi untuk dinikmati sekarang, saat peristiwa itu sendiri sudah lampau. Hal ini bisa dirasakan dalam tulisan yang berjudul "BBBM", "Jalasveva Jayamahe" dan sebagainya. Namun, itu tidak mengurangi kenikmatan menjelajah dunia nilai-nilai kemanusiaan yang ditawarkan oleh penulisnya dalam TitikTuju.

Terakhir, jika pembaca jeli menelusuri TitikTuju hingga akhir, tentu akan mafhum, dengan situasi batin penulisnya. Bahkan pembaca dapat ikut merasakan ‘sakit’ imsomnia yang tidak dirasakan oleh penulis, bisa tahu hobi penulis yang suka mbaca buku Asmaraman S Kho Ping Hoo semasa remaja hingga hafal nama tokoh-tokoh dunia kang-ouw, seorang Andre Theriqa, yang rela begadang semalaman hanya untuk menonton bola, dan sebagainya. Penulis juga tampaknya sengaja menunjukkan kecintaannya pada lagu-lagu Iwan Fals, musisi yang dikaguminya, hingga bisa ditanyakan, ada berapa lagu Iwan Fals dalam TitikTuju ?

Akhirnya selamat membaca TitikTuju sambil mendendangkan lagu IwanFals. (250206)

Imron Hamami adalah penggiat sosial yang menjadi motor Pattiro,
sebuah NGO yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan di Tangerang.

5.2.08

Imlek dan Harmoni dengan Alam


Tanggal 7 Februari 2008, kalender China memasuki angka 2559. Namun, menjelang Imlek, Tanah Air diterjang banjir, menewaskan beberapa orang dan mengakibatkan kerugian material.
Diperkirakan, banjir masih akan mengancam berbagai kawasan di Tanah Air pada Februari dan Maret 2008.

Banjir sudah menjadi bagian hidup kita dan diabadikan dalam aneka peradaban. Dalam sejarah Tiongkok kuno, misalnya, dikisahkan Yao bersama tujuh orang, atau Fa Li bersama istri dan anak-anaknya yang selamat dari banjir dan gempa bumi.

Menghargai alam

Apa kaitan banjir atau bencana dengan Imlek?
Imlek adalah perayaan kaum petani di Tiongkok kuno saat menyambut pergantian musim, dari musim dingin menuju musim semi. Kata Imlek dari dialek bahasa Hokkian, artinya penanggalan bulan atau yinli (Mandarin). Di Tiongkok, Tahun Baru Imlek lebih dikenal dengan Chunjie, perayaan musim semi. Kegiatan perayaannya disebut Guo Nian (memasuki tahun baru). Di Indonesia hal ini dikenal dengan Konyan.

Maka, Imlek sebenarnya menyimpan semangat penghargaan pada alam. Seperti bangsa-bangsa kuno lainnya, saat itu para petani Tiongkok mempunyai kosmologi atau pandangan tentang alam semesta yang harus selalu dijaga kesakralannya sehingga setiap pergantian musim, saat menanam benih atau memanen, selalu disertai ritual khusus bagi Sang Pencipta. Jadi, sebagai suku bangsa primitif, prinsip sakralisasi alam dipegang teguh.

Hadirnya agama-agama Tao, Konghucu, atau Buddha memberi nuansa keagamaan pada Imlek. Agama-agama ini memperkaya kepercayaan para petani untuk menghargai alam semesta. Bahkan, saking menghargai alam semesta, umat Buddha, misalnya, dilarang membunuh nyamuk atau menebang pohon. Intinya sesama makhluk hidup harus dijaga dan dihormati.

Agama Tao dengan prinsip Yin dan Yang meyakini, alam semesta selalu mengandung dua prinsip ini. Prinsip ini di antaranya juga mengajarkan agar manusia selalu menjaga harmoni dan keselarasan. Etika Konghucu mengajarkan agar kita tidak melakukan sesuatu yang menyakitkan atau merusak alam yang di dalamnya terangkum sesama manusia. Sedikit saja keselarasan diusik, manusia harus menanggung bencana dan malapetaka.

Merusak alam

Rasanya, ajaran-ajaran ini relevan dengan kita, khususnya jika dikaitkan dengan banjir atau bencana alam. Jika dicari, akar masalah banjir di Jakarta, Jawa Timur, dan berbagai tempat semua bermuara pada sikap kita yang tidak menghargai alam. Penggundulan hutan 3,8 juta hektar per tahun membuat kondisi lingkungan dan hutan di Jawa tinggal 4 persen dari luas Pulau Jawa, jauh di bawah tingkat 30 persen yang dikatakan titik keamanan minimum. Ini contoh betapa manusia semena-mena pada alam.

Reklamasi pantai Jakarta menjadi tak berarti saat di sana dibangun perumahan. Hal ini diyakini menjadi penyebab banjir Jakarta. Prof John Rennie Short dalam buku Urban Theory, A Critical Assessment (2006) mengingatkan, kekurangpekaan pengelola kota negara atas masalah lingkungan bisa memunculkan wounded cities, kota-kota terluka. Warga Jakarta sudah merasakan luka akibat banjir.

Sebenarnya reklamasi pantai, pembangunan tol, atau pembabatan hutan bisa dikategorikan contra naturam, melawan hukum alam. Manusia menunjukkan arogansinya bisa mengalahkan alam. Maka, semangat Imlek yang dihayati para petani di Tiongkok kuno untuk selalu menjaga keselarasan dengan alam menemukan relevansinya.

Berbagai pandangan itu senada dengan ecotheology yang muncul awal 1970-an karena maraknya krisis lingkungan hidup. Ekoteologi seperti dicetuskan Jack Rogers, Annie Dillard, atau John Cobb Jr dan lainnya hendak menekankan interelasi antara Allah dan alam, di dalamnya termasuk manusia. Artinya, jika kita merusak hutan, sama dengan melawan Allah. Singkatnya, ekoteologi hendak menggarisbawahi pentingnya dikembangkan praksis pembebasan manusia dan alam dari segala bentuk tirani dan eksploitasi, dan itu menjadi ekspresi penghargaan kepada Sang Pencipta.

Maka, Imlek tahun ini selayaknya dijadikan momentum menjaga harmoni dengan Tuhan, sesama warga, dan alam sekitar.

Gong xi fa cai dan Xin Nian Kuaile 2559.

Andika Hadinata Rohaniwan; Pegiat Lingkungan, Tinggal di Roma, Italia

3.2.08

Bah


Katanya, banjir besar di Jakarta itu siklus lima tahunan. Tapi, tempo hari, lagi-lagi Jakarta kelelep dan ngap-ngapan. Atau, banjir kemarin ini memang bukan banjir besar, karena kadung yang diklaim sebagai banjir besar sudah berlangsung Januari tahun lalu?

Tapi sesungguhnya, siapa lagi yang peduli itu mau disebut besar atau tidak. Nyatanya, cakupan genangan air merambah ke mana-mana. Bukan saja ipar saya -- H. Taufik -- yang terkena dampaknya, ia terpaksa meninggalkan 'audi'-nya untuk menumpang sepeda motor sang adik yang sore itu boleh melaju di jalan tol. Bahkan SBY yang Presiden Republik Indonesia pun memiliki kesempatan yang sama untuk merasakan efek hujan semalaman itu.

Tak pelak, 'sang ahli' pun kelabakan. Pihak pertama yang dipersalahkan adalah kontraktor drainase. Karena sungguh mencengangkan, terjangan air itu kali ini tidak melulu melanda wilayah minus di sepanjang sepadan kali dan wilayah kumuh yang memang sudah terbiasa dengan kondisi semacam itu, tetapi kali ini yang ditampar oleh banjir adalah jalan protokol paling bergengsi, Sudirman-Thamrin dan Tol Sedyatmo.

Tercatat lebih dari duaratus tiga puluh penerbangan terhambat, tertunda dan dibatalkan. Tidak tercatat entah berapa kerugian para pengusaha --terutama yang bergerak di sektor angkutan umum. Tidak juga tercatat, berapa pengharapan di awal bulan yang terkapar sia-sia. Dan itu semua ternyata tidak cukup untuk menggerakkan kita untuk semakin waspada.

Banjir memang bukan barang baru. Mungkin satu ketika nanti, banjir tidak lagi dianggap sebagai bencana alam. Banjir akan menjadi sebuah gejala yang biasa-biasa saja sebagaimana kita bersendawa pasca sarapan pagi dengan menu makan siang. Banjir bahkan mungkin akan menjadi rutinitas, seperti (punten) b-a-b yang kita lakukan sebelum sarapan pagi dengan menu makan siang tadi.

Memang alam dan fenomenanya yang paling asyik untuk dikambinghitamkan. Padahal ketika musim sedang kering, kita dan lebih-lebih pemerintah, tidak merasa harus melakukan upaya persiapan dan pencegahan jika musim basah tiba. Dan ketika musim basah itu tiba, kita dan lebih-lebih pemerintah, sibuk menyalahkan cuaca yang menyebabkan kita dan lebih-lebih pemerintah, tidak bisa melakukan apa-apa.

Banjir itu mungkin akan menjadi bah. Tanpa menjadi bah pun, ketika banjir ada, sahabat saya yang asli Tarutung pasti akan spontan bilang, "Bah !!"

Banjir jelas telah mengakibatkan banyak hal tidak lagi bisa dikerjakan. Boro-boro untuk berpoco-poco (meminjam istilah Megawati Soekarnoputri, yang mengibaratkan pemerintah sekarang seperti tarian khas dari belahan timur itu, maju selangkah - mundur lagi selangkah, hanya berputar-putar di tempat), untuk mengadakan sparing bulutangkis dengan kerabat kami yang dari Priuk pun terpaksa ditunda hingga waktu yang belum bisa dipastikan.

Atau mereka memang tidak sedang poco-poco, tetapi justru sedang mundur teratur. Bah !!! ANDRETHERIQA 030208