Sengaja tanda seru ditaruh di akhir judul. Maksudnya sebuah pernyataan, semacam pistis for- mul bernada imperatif. Anak- anak kita dalam kondisi gawat.
Kita tersentak, berita setiap tahun setidaknya 150.000 anak Indonesia jadi korban pelacuran anak dan pornografi. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibanding data Unicef tahun 1998 yang berjumlah 70.000 anak. Mereka berusia 14-16 tahun, setingkat anak usia SMP.
Kita geram sekaligus terenyuh. Geram sebab ahli waris bangsa ini berada dalam incaran mata penjahat. Terenyuh sebab kita lalai memberikan perhatian.
Usia 14-16 tahun menurut para psikolog dan pedagog adalah usia rawan. Serba tanggung. Disebut anak sudah lulus SD, disebut dewasa belum 17 tahun. Mereka belum bisa bertanggung jawab secara hukum. Sebaliknya secara fisik mereka sudah dewasa. Mereka gampang terpengaruh dan gampang menjadi obyek kejahatan.
Kondisi serba tanggung membuat serba sulit. Bacaan, alat mainan, dan analisis psikologis untuk anak usia SD dan SMA relatif lebih banyak dibanding untuk anak usia SMP. Apalagi untuk anak balita, bahkan anak sebelum lahir. Psikologi anak usia SMP relatif lebih sulit diraba dibanding anak usia SD dan SMA.
Analisis psikologis tentang mereka amat gampang berubah. Bagi para psikolog, usia Stum und Drang yang rentan membuat sulit memberikan pattern. Perhatian psikolog dan pedagog pun diberikan pada usia balita, bahkan terkesan kelewat banyak, sementara psikologi anak usia 14-16 tahun kurang memperoleh perhatian.
Kondisi serba tanggung membuat mereka gampang dijadikan tenaga kerja dengan upah murah, dan berbagai bentuk kejahatan lain. Data di Jakarta terdapat tidak kurang dari 10.000 pelacur anak dan di Medan 2.000 anak, menambah gawatnya kondisi anak-anak kita.
Kejahatan terhadap anak seharusnya diberi perhatian lebih serius, tidak saja dari sisi kejahatan an sich, tetapi terutama karena me-muntes generasi penerus sebuah bangsa. Secara sosial psikologis, bobot kejahatan mereka tidak kalah jauh dari bobot kejahatan psikotropika.
Dengan alasan itu, terutama demi generasi masa depan Indonesia, kita ingin sampaikan beberapa saran. Sikap bela rasa perlu ditindaklanjuti langkah-langkah konkret. Terhadap kasus-kasus kejahatan anak, tegakkan hukum dengan tegas. Korban kejahatan mereka berurusan dengan masa depan bangsa.
Kita berikan apresiasi dan dukungan pada Komnas HAM Anak. Lembaga ini tidak punya daya gigit kalau masyarakat sendiri acuh terhadap kejahatan yang mengancam anak. Sebaliknya terhadap pelaku kejahatan yang masih berusia anak, dalam sikap dan penanganan sebaiknya dalam lingkup pendidikan.
Ajakan imperatif ”selamatkan anak bangsa” tidak sekadar retoris, tetapi sebuah keniscayaan kalau kita ingin negeri dan bangsa Indonesia tidak hancur berkeping-keping seiring rasa keterpurukan akhir-akhir ini. TAJUK RENCANA KOMPAS 151108
Kita tersentak, berita setiap tahun setidaknya 150.000 anak Indonesia jadi korban pelacuran anak dan pornografi. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibanding data Unicef tahun 1998 yang berjumlah 70.000 anak. Mereka berusia 14-16 tahun, setingkat anak usia SMP.
Kita geram sekaligus terenyuh. Geram sebab ahli waris bangsa ini berada dalam incaran mata penjahat. Terenyuh sebab kita lalai memberikan perhatian.
Usia 14-16 tahun menurut para psikolog dan pedagog adalah usia rawan. Serba tanggung. Disebut anak sudah lulus SD, disebut dewasa belum 17 tahun. Mereka belum bisa bertanggung jawab secara hukum. Sebaliknya secara fisik mereka sudah dewasa. Mereka gampang terpengaruh dan gampang menjadi obyek kejahatan.
Kondisi serba tanggung membuat serba sulit. Bacaan, alat mainan, dan analisis psikologis untuk anak usia SD dan SMA relatif lebih banyak dibanding untuk anak usia SMP. Apalagi untuk anak balita, bahkan anak sebelum lahir. Psikologi anak usia SMP relatif lebih sulit diraba dibanding anak usia SD dan SMA.
Analisis psikologis tentang mereka amat gampang berubah. Bagi para psikolog, usia Stum und Drang yang rentan membuat sulit memberikan pattern. Perhatian psikolog dan pedagog pun diberikan pada usia balita, bahkan terkesan kelewat banyak, sementara psikologi anak usia 14-16 tahun kurang memperoleh perhatian.
Kondisi serba tanggung membuat mereka gampang dijadikan tenaga kerja dengan upah murah, dan berbagai bentuk kejahatan lain. Data di Jakarta terdapat tidak kurang dari 10.000 pelacur anak dan di Medan 2.000 anak, menambah gawatnya kondisi anak-anak kita.
Kejahatan terhadap anak seharusnya diberi perhatian lebih serius, tidak saja dari sisi kejahatan an sich, tetapi terutama karena me-muntes generasi penerus sebuah bangsa. Secara sosial psikologis, bobot kejahatan mereka tidak kalah jauh dari bobot kejahatan psikotropika.
Dengan alasan itu, terutama demi generasi masa depan Indonesia, kita ingin sampaikan beberapa saran. Sikap bela rasa perlu ditindaklanjuti langkah-langkah konkret. Terhadap kasus-kasus kejahatan anak, tegakkan hukum dengan tegas. Korban kejahatan mereka berurusan dengan masa depan bangsa.
Kita berikan apresiasi dan dukungan pada Komnas HAM Anak. Lembaga ini tidak punya daya gigit kalau masyarakat sendiri acuh terhadap kejahatan yang mengancam anak. Sebaliknya terhadap pelaku kejahatan yang masih berusia anak, dalam sikap dan penanganan sebaiknya dalam lingkup pendidikan.
Ajakan imperatif ”selamatkan anak bangsa” tidak sekadar retoris, tetapi sebuah keniscayaan kalau kita ingin negeri dan bangsa Indonesia tidak hancur berkeping-keping seiring rasa keterpurukan akhir-akhir ini. TAJUK RENCANA KOMPAS 151108
1 komentar:
benar bang, seperti yang jadi tema blog abang, selamatkanlah anak-anak indonesia, niscaya kelak merekalah yang akan menyelamatkan indonesia.
Posting Komentar