Keputusan memajukan jadwal masuk sekolah di DKI ke pukul 06.30 mulai 1 Januari 2009 sebaiknya dikonsultasikan dengan orangtua murid, guru, dan Departemen Pendidikan Nasional. Sayang, hanya Pemerintah Provinsi DKI yang merasa punya kompetensi.
Saya selalu menganggap orang/lembaga yang merasa paling berkompeten sesungguhnya tak punya kompetensi. Mereka lebih suka mencampuri urusan orang lain, tetapi alpa mengerjakan urusan sendiri.
Tak elok menuding pelajar yang diantar kendaraan ke sekolah sebagai sumber kemacetan. Saya jadi ingat pernyataan gubernur lama DKI yang menuduh ”fenomena alam” penyebab banjir besar di Jakarta dua tahun lalu.
Kemacetan melanda kota-kota ekonomi padat, seperti London, Paris, New York, Tokyo, Beijing, dan Bangkok. Lalu lintas di Jakarta bukan lagi macet, tetapi sudah semrawut.
Siapa pun tahu kemacetan pasti datang kapan saja, bisa diurai lewat aturan yang dipatuhi, dan akhirnya membuat lalu lintas normal kembali.
Kesemrawutan? Tak seorang pun yang tahu penyebabnya karena sifatnya misterius, mustahil diurai dari pagi sampai malam, dan memaksa tiap pengendara enggan bersikap pasrah.
Itu sebabnya warga DKI suka gontok-gontokan di tengah jalan. Itu sebabnya kerugian rupiah per tahun akibat kemacetan di Ibu Kota mencapai jumlah triliunan.
Ada 1.001 alasan yang menyebabkan terjadinya kemacetan, mulai dari kurangnya panjang jalan sampai terlalu banyaknya jumlah kendaraan. Namun, penyebab kesemrawutan cuma satu, yakni insanity.
Albert Einstein, ilmuwan penemu teori relativitas, punya teori tentang insanity. Ia bilang insanity adalah kebiasaan orang melakukan hal yang sama secara berulang dan mengharapkan hasil yang berbeda.
Nyaris semua pengendara di Jakarta melanggar aturan tiap detik, menit, jam, hari, pekan, dan bulan. Tak ada lagi warga Jakarta yang merasa heran.
Motor naik ke trotoar, angkot dan metromini ngetém sembarangan. Sedan-sedan mewah buang sampah di jalanan dan truk-truk di tol merangkak kayak keong di lajur paling kanan.
Setelah menyerempet sedan mewah, pengendara motor langsung tancap gas bagai orang kesetanan. Jangan lupa, si pemilik sedan mewah yang gemar buang sampah di jalanan mengeluh selokan mampat sehingga rumahnya kebanjiran.
Coba Anda sekali-kali ngetém di depan angkot atau metromini, saya jamin sopir-sopirnya naik darah dan menuduh Anda enggak ngerti aturan. Sopir-sopir truk yang jalan di lajur paling kanan tol getol mengeluh tentang kemacetan.
Nah, itulah kesemrawutan. Dan, kini pelajar yang diantar kendaraan tiap pagi tiba-tiba berubah ujud jadi kambing hitam biang kemacetan.
Sungguh ironis derajat sekolah—institusi mulia yang menyiapkan pemimpin masa depan— telah diturunkan. Lebih ironis lagi, kekuasaan berasumsi urusan terpenting di Ibu Kota melulu masalah kemacetan.
Padahal, jalanan di depan rumah saya pasti kembali kebanjiran. Ancaman tsunami krismon global sudah bertiup ke Jakarta dalam bentuk PHK yang jumlahnya tahun depan bisa mencapai ribuan.
Menurut saya, penerapan kebijakan publik yang keliru macam ini merupakan cermin sifat kepemimpinan yang kurang memiliki rasa empati. Rata-rata politisi yang telanjur dipilih tak punya electability alias kurang layak dipilih.
Kini gejala kekuranglayakan itu sudah tampak lagi. Mereka percaya pada pengaruh iklan politik karena sesungguhnya kurang percaya diri.
Iklan politik bertujuan sebagai alat promosi sebagai bukti berbuat sesuai dengan janji-janji. Namun, yang terjadi iklan- iklan itu merayu rakyat agar melupakan masa lalu sambil menawarkan... janji-janji lagi.
Mungkin karena janji sudah bertumpuk-tumpuk, mereka lupa sendiri. Tiap kali rakyat menagih, mereka bingung sendiri.
Itu sebabnya kemacetan disalahkan pada jadwal sekolah yang kurang pagi. Tak heran iklan yang dipertengkarkan dua capres hanya soal persentase orang miskin—bukan substansi kemiskinan.
Saya suka iklan politik Prabowo Subianto yang mengajak masyarakat memerhatikan potensi pasar tradisional dan petani. Berbeda dengan iklan-iklan lain yang kok memuji diri sendiri.
Aneh ada politisi tanpa empati yang mengaku berjasa memberlakukan kebebasan pers atau berhasil memberantas korupsi. Padahal, itu tuntutan perjuangan mahasiswa saat reformasi.
Tak sedikit politisi tanpa empati ramai-ramai ”menyerbu” situs jaringan sosial Facebook belakangan ini. Namun, jangan coba menyapa sebagian dari mereka karena Anda takkan diladeni.
Politisi tanpa empati ibarat ndoro yang sedari dulu terbiasa diladeni. Mereka selalu jadi pusat perhatian karena anak pembesar Anu, mantan pejabat Orde Baru yang ditakuti, atau bekas komedian/bintang sinetron top di televisi.
Politisi tanpa empati bak anak balita kurang perhatian yang kurang pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan. Jangan heran sebagian dari capres tak bertegur sapa seperti tetangga yang bermusuhan.
Juga tak heran di antara mereka kerap terjadi pengkhianatan. Kali ini mereka sekubu, kali lain mereka saling tikam demi persaingan.Dalam psikologi politisi tanpa empati menderita adult attention-deficit disorder alias dewasa berperilaku menyimpang karena ”kuper” (kurang perhatian). Namun, bukankah reformasi memang sudah menyimpang? BUDIARTO SHAMBAZY 291108
Saya selalu menganggap orang/lembaga yang merasa paling berkompeten sesungguhnya tak punya kompetensi. Mereka lebih suka mencampuri urusan orang lain, tetapi alpa mengerjakan urusan sendiri.
Tak elok menuding pelajar yang diantar kendaraan ke sekolah sebagai sumber kemacetan. Saya jadi ingat pernyataan gubernur lama DKI yang menuduh ”fenomena alam” penyebab banjir besar di Jakarta dua tahun lalu.
Kemacetan melanda kota-kota ekonomi padat, seperti London, Paris, New York, Tokyo, Beijing, dan Bangkok. Lalu lintas di Jakarta bukan lagi macet, tetapi sudah semrawut.
Siapa pun tahu kemacetan pasti datang kapan saja, bisa diurai lewat aturan yang dipatuhi, dan akhirnya membuat lalu lintas normal kembali.
Kesemrawutan? Tak seorang pun yang tahu penyebabnya karena sifatnya misterius, mustahil diurai dari pagi sampai malam, dan memaksa tiap pengendara enggan bersikap pasrah.
Itu sebabnya warga DKI suka gontok-gontokan di tengah jalan. Itu sebabnya kerugian rupiah per tahun akibat kemacetan di Ibu Kota mencapai jumlah triliunan.
Ada 1.001 alasan yang menyebabkan terjadinya kemacetan, mulai dari kurangnya panjang jalan sampai terlalu banyaknya jumlah kendaraan. Namun, penyebab kesemrawutan cuma satu, yakni insanity.
Albert Einstein, ilmuwan penemu teori relativitas, punya teori tentang insanity. Ia bilang insanity adalah kebiasaan orang melakukan hal yang sama secara berulang dan mengharapkan hasil yang berbeda.
Nyaris semua pengendara di Jakarta melanggar aturan tiap detik, menit, jam, hari, pekan, dan bulan. Tak ada lagi warga Jakarta yang merasa heran.
Motor naik ke trotoar, angkot dan metromini ngetém sembarangan. Sedan-sedan mewah buang sampah di jalanan dan truk-truk di tol merangkak kayak keong di lajur paling kanan.
Setelah menyerempet sedan mewah, pengendara motor langsung tancap gas bagai orang kesetanan. Jangan lupa, si pemilik sedan mewah yang gemar buang sampah di jalanan mengeluh selokan mampat sehingga rumahnya kebanjiran.
Coba Anda sekali-kali ngetém di depan angkot atau metromini, saya jamin sopir-sopirnya naik darah dan menuduh Anda enggak ngerti aturan. Sopir-sopir truk yang jalan di lajur paling kanan tol getol mengeluh tentang kemacetan.
Nah, itulah kesemrawutan. Dan, kini pelajar yang diantar kendaraan tiap pagi tiba-tiba berubah ujud jadi kambing hitam biang kemacetan.
Sungguh ironis derajat sekolah—institusi mulia yang menyiapkan pemimpin masa depan— telah diturunkan. Lebih ironis lagi, kekuasaan berasumsi urusan terpenting di Ibu Kota melulu masalah kemacetan.
Padahal, jalanan di depan rumah saya pasti kembali kebanjiran. Ancaman tsunami krismon global sudah bertiup ke Jakarta dalam bentuk PHK yang jumlahnya tahun depan bisa mencapai ribuan.
Menurut saya, penerapan kebijakan publik yang keliru macam ini merupakan cermin sifat kepemimpinan yang kurang memiliki rasa empati. Rata-rata politisi yang telanjur dipilih tak punya electability alias kurang layak dipilih.
Kini gejala kekuranglayakan itu sudah tampak lagi. Mereka percaya pada pengaruh iklan politik karena sesungguhnya kurang percaya diri.
Iklan politik bertujuan sebagai alat promosi sebagai bukti berbuat sesuai dengan janji-janji. Namun, yang terjadi iklan- iklan itu merayu rakyat agar melupakan masa lalu sambil menawarkan... janji-janji lagi.
Mungkin karena janji sudah bertumpuk-tumpuk, mereka lupa sendiri. Tiap kali rakyat menagih, mereka bingung sendiri.
Itu sebabnya kemacetan disalahkan pada jadwal sekolah yang kurang pagi. Tak heran iklan yang dipertengkarkan dua capres hanya soal persentase orang miskin—bukan substansi kemiskinan.
Saya suka iklan politik Prabowo Subianto yang mengajak masyarakat memerhatikan potensi pasar tradisional dan petani. Berbeda dengan iklan-iklan lain yang kok memuji diri sendiri.
Aneh ada politisi tanpa empati yang mengaku berjasa memberlakukan kebebasan pers atau berhasil memberantas korupsi. Padahal, itu tuntutan perjuangan mahasiswa saat reformasi.
Tak sedikit politisi tanpa empati ramai-ramai ”menyerbu” situs jaringan sosial Facebook belakangan ini. Namun, jangan coba menyapa sebagian dari mereka karena Anda takkan diladeni.
Politisi tanpa empati ibarat ndoro yang sedari dulu terbiasa diladeni. Mereka selalu jadi pusat perhatian karena anak pembesar Anu, mantan pejabat Orde Baru yang ditakuti, atau bekas komedian/bintang sinetron top di televisi.
Politisi tanpa empati bak anak balita kurang perhatian yang kurang pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan. Jangan heran sebagian dari capres tak bertegur sapa seperti tetangga yang bermusuhan.
Juga tak heran di antara mereka kerap terjadi pengkhianatan. Kali ini mereka sekubu, kali lain mereka saling tikam demi persaingan.Dalam psikologi politisi tanpa empati menderita adult attention-deficit disorder alias dewasa berperilaku menyimpang karena ”kuper” (kurang perhatian). Namun, bukankah reformasi memang sudah menyimpang? BUDIARTO SHAMBAZY 291108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar