Sungguh waktu yang terbatas yang membuatku semakin jarang bisa menulis di sini. Dan waktu pulalah yang menyadarkan aku betapa lekasnya ia datang dan pergi. Tanpa tersadari, setahun lagi sudah terlampaui.
Tahun ini, ada yang unik. Ramadhan datang saat almanak masehi dan hijriah kompak bermula pada saat yang sama. Jadinya, agak gampang saat ini kita berhitung sudah berapa masa puasa kita berbilang hari, berapa saat lagi akan menjelang fitri. 1 Ramadhan 1429 memang bertepatan dengan 1 September 2008. Mudah-mudahan kesamaan ini juga menghinggapi saat penentuan 1 Syawal 1429, dengan berbagai metode hisab dan rukyat yang dianut berbagai kalangan.
Saat aku sahur pada rabu kemarin, aku menangkap sesuatu yang mengiriskan dalam sebuah reportase di televisi. Tampak di situ, di wilayah provinsi Banten ini, sekelompok petugas Satpol PP sedang menghancurkan sekaligus mengangkuti dagangan kuliner yang kepergok mereka sedang berdagang di bulan puasa ini.
Selang sesaat, di provinsi lain, sekelompok Satpol PP yang lain sedang merazia beberapa penduduk yang sedang menikmati makan siang mereka.
Ada apa dengan semua ini? Ada apa dengan negeri kita? Adakah sudah sedemikian jumawanya kita, untuk menerapkan bahwa tatkala kita berpuasa maka seluruh umat manusia juga harus sama berpuasanya dengan kita? Mengapa kita menjadi begitu gila hormat, justru pada saat yang sama kita telah kehilangan kemampuan untuk menghormati makhluk lain?
Masih terngiang di ingatanku, saat HandaiTaulan SemburatJingga masih rajin-rajinnya menyelenggarakan pengajian dan pengkajian sebulan suntuk sepanjang Ramadhan untuk memaknai bulan yang istimewa ini.
Saat itu, kami sepakat bahwasanya Ramadhan sudah semestinya dipandang dengan perspektif yang berbeda. Ia bukan lagi harus dimaknai sebagai bulan penuh ujian. Ramadhan justru adalah bulan penuh bonus.
Betapa tidak, di bulan ini segala iblis dan sekutu laknatnya divoorbodeen untuk lenggangkangkung di kehidupan manusia. Segala amal dan ibadah dilipatgandakan pahalanya. Bahkan jikalau kita beroleh jackpot pada malam lailatul-qodar, maka apa yang kita lakukan akan sama pahalanya dengan apa kita lakukan sepanjang seribu bulan. Bukankah itu luarbiasa?
Justru sebelas bulan yang lain itulah yang sebenarnya ujian buat kita.
Hakekat puasa Ramadhan sendiri, tentu saja sudah banyak dikupas dengan gaya masing-masing di berbagai kesempatan. Aku selalu heran, jika di interaktif berbagai acara Ramadhan di semua televisi swasta, pertanyaan dan problem puasa Ramadhan yang mengemuka masih yang itu-itu saja, masih seputar perkara yang sama dengan semenjak televisi swasta mengudara dari 18 tahun yang lampau. Begitu pandirkah ummat kita, begitu pelupakah ?
Apakah saking pandir dan pelupanya kita sampai tidak ingat bahwa bangsa kita adalah bangsa yang majemuk, yang Bhinneka Tunggal Ika. Negeri kita bukan sektarian melainkan pluralistik. Kita tidak pernah mengaku sebagai bangsa radikal melainkan moderat. Jadi bukan hanya ekspatriat yang ada di sini saja yang mungkin bukan muslim, tetapi anak bangsa ini juga tidak melulu muslim.
Apalagi, bukan cuma non muslim saja yang tidak berpuasa tatkala Ramadhan, kita yang muslim pun dengan kondisi dan keadaan tertentu tidaklah diwajibkan berpuasa. Sedang datang bulan, sakit, belum akil-baliqh, adalah beberapa pengecualian tersebut.
Lantas apa yang telah mengakibatkan sejumlah petugas kita menjadi begitu over-acting, sok radikal, sok fanatik alih-alih melarang kelompok tertentu melakukan tindakan tersebut, justru petugas negara sendiri yang melakukannya.
Maka, saya pun kembali terngiang dengan usul salah satu adikku di SemburatJingga, barangkali sudah waktunya kita memasang spanduk dalam menyambut Ramadhan ini dengan bunyi yang berbeda, " Marhaban Yaa Ramadhan, Hormatilah Orang Yang Tidak Berpuasa !" ANDRETHERIQA 060908
Tahun ini, ada yang unik. Ramadhan datang saat almanak masehi dan hijriah kompak bermula pada saat yang sama. Jadinya, agak gampang saat ini kita berhitung sudah berapa masa puasa kita berbilang hari, berapa saat lagi akan menjelang fitri. 1 Ramadhan 1429 memang bertepatan dengan 1 September 2008. Mudah-mudahan kesamaan ini juga menghinggapi saat penentuan 1 Syawal 1429, dengan berbagai metode hisab dan rukyat yang dianut berbagai kalangan.
Saat aku sahur pada rabu kemarin, aku menangkap sesuatu yang mengiriskan dalam sebuah reportase di televisi. Tampak di situ, di wilayah provinsi Banten ini, sekelompok petugas Satpol PP sedang menghancurkan sekaligus mengangkuti dagangan kuliner yang kepergok mereka sedang berdagang di bulan puasa ini.
Selang sesaat, di provinsi lain, sekelompok Satpol PP yang lain sedang merazia beberapa penduduk yang sedang menikmati makan siang mereka.
Ada apa dengan semua ini? Ada apa dengan negeri kita? Adakah sudah sedemikian jumawanya kita, untuk menerapkan bahwa tatkala kita berpuasa maka seluruh umat manusia juga harus sama berpuasanya dengan kita? Mengapa kita menjadi begitu gila hormat, justru pada saat yang sama kita telah kehilangan kemampuan untuk menghormati makhluk lain?
Masih terngiang di ingatanku, saat HandaiTaulan SemburatJingga masih rajin-rajinnya menyelenggarakan pengajian dan pengkajian sebulan suntuk sepanjang Ramadhan untuk memaknai bulan yang istimewa ini.
Saat itu, kami sepakat bahwasanya Ramadhan sudah semestinya dipandang dengan perspektif yang berbeda. Ia bukan lagi harus dimaknai sebagai bulan penuh ujian. Ramadhan justru adalah bulan penuh bonus.
Betapa tidak, di bulan ini segala iblis dan sekutu laknatnya divoorbodeen untuk lenggangkangkung di kehidupan manusia. Segala amal dan ibadah dilipatgandakan pahalanya. Bahkan jikalau kita beroleh jackpot pada malam lailatul-qodar, maka apa yang kita lakukan akan sama pahalanya dengan apa kita lakukan sepanjang seribu bulan. Bukankah itu luarbiasa?
Justru sebelas bulan yang lain itulah yang sebenarnya ujian buat kita.
Hakekat puasa Ramadhan sendiri, tentu saja sudah banyak dikupas dengan gaya masing-masing di berbagai kesempatan. Aku selalu heran, jika di interaktif berbagai acara Ramadhan di semua televisi swasta, pertanyaan dan problem puasa Ramadhan yang mengemuka masih yang itu-itu saja, masih seputar perkara yang sama dengan semenjak televisi swasta mengudara dari 18 tahun yang lampau. Begitu pandirkah ummat kita, begitu pelupakah ?
Apakah saking pandir dan pelupanya kita sampai tidak ingat bahwa bangsa kita adalah bangsa yang majemuk, yang Bhinneka Tunggal Ika. Negeri kita bukan sektarian melainkan pluralistik. Kita tidak pernah mengaku sebagai bangsa radikal melainkan moderat. Jadi bukan hanya ekspatriat yang ada di sini saja yang mungkin bukan muslim, tetapi anak bangsa ini juga tidak melulu muslim.
Apalagi, bukan cuma non muslim saja yang tidak berpuasa tatkala Ramadhan, kita yang muslim pun dengan kondisi dan keadaan tertentu tidaklah diwajibkan berpuasa. Sedang datang bulan, sakit, belum akil-baliqh, adalah beberapa pengecualian tersebut.
Lantas apa yang telah mengakibatkan sejumlah petugas kita menjadi begitu over-acting, sok radikal, sok fanatik alih-alih melarang kelompok tertentu melakukan tindakan tersebut, justru petugas negara sendiri yang melakukannya.
Maka, saya pun kembali terngiang dengan usul salah satu adikku di SemburatJingga, barangkali sudah waktunya kita memasang spanduk dalam menyambut Ramadhan ini dengan bunyi yang berbeda, " Marhaban Yaa Ramadhan, Hormatilah Orang Yang Tidak Berpuasa !" ANDRETHERIQA 060908